Sebelumnya
  UGER-UGER PASANG AKSARA BALI  
  Selanjutnya

 

Setelah kita mempelajari beberapa jenis abjad, maka yang perlu kita camkan sekarang, ialah abjad Jawa Kuna Latin yang telah kita salin dengan lambang-lambang aksara Bali. Abjad ini rupanya sudah merupakan abjad yang baku, terutama mengenai pengelompokan- pengelompokannya, karena sudah sesuai dengan daerah artikulasinya atau warga aksaranya. Oleh karena itu kalau mencari kata-kata dalam kamus Jawa Kuna, maka pada umumnya mempergunakan urutan abjad ini.

Selanjutnya kita juga telah mempelajari fonologi atau ilmu tata bunyi, terutama mengenai cara kerja antara artikulator dengan artikulasi. sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang kita lambangkan dengan aksara Bali. Sekarang marilah kita perhatikan penulisan abjad Jawa Kuna Latin dengan aksara Bali (Nomor D).

Kita perhatikan dan camkanlah penjelasan di bawah ini yaitu:

Perhatikanlah jalur-jalur kelompok warga aksara itu, baik vertikal maupun horisontal dan camkan nama-nama lambang bunyi itu.
Perlu diketahui bahwa ada lambang-lambang bunyi yang dianggap sama, yaitu:
Bunyi s tiga buah, yaitu: s dantia, ş murdania dan ç talawia.
Bunyi t tiga buah, yaitu: t dantia alpaprana, th dantya mahaprana dan ţ murdania.
Bunyi n dua buah, yaitu n dantia, dan ņ murdania
Bunyi d tiga buah, yaitu: d dantia alpaprana, dh dantya mahaprana dan murdania.

Kalau kita menerapkan uger-uger pasang aksara Bali terhadap rangkapan wianjana (gugusan konsonan) pada suatu kata terhadap huruf-huruf itu harus yang sewarga. Kalau rangkapan wianjana itu tidak sewarga, maka berlakulah hukum "asimilasi gugusan konsonan", yaitu penyesuaian rangkapan wianjana tersebut misalnya:

Contoh 1

Panca (penulisan Bali Latin).

Kita lihat gugusan konsonannya, ialah: nc. Lambang n termasuk warga dantia dan c termasuk warga talawia. Jadi tidak sewarga atau tidak sedaerah artikulasi. Dalam hal ini berlakulah hukum "regresif" pada penulisan Bali maksudnya lambang bunyi yang di belakang (c) mempengaruhi yang di muka (n) Dengan demikian lalu n menyesuaikan diri dengan warga c menjadi ny (ñ). Caranya mendapatkan pergunakanlah "sistem koordinat" dalam matematika, yaitu:

Warga dantia dianggap sumbu x, karena merupakan basis dari pada gerak artikulator paling bawah
Warga aksara yang lain dianggap sumbu y. karena gerak artikulator pada titik-titik artikulator berada di atas atau menuju ke atas.

Skema:

Jadi caranya dengan menarik n vertikal dan c horizontal, maka akan mengenai ñ (ny) atau dengan kata lain n (dantia) menyesuaikan diri menjadi ny (talawia), (lihat bagan abjad nomor D)

Jadi tulisan:

panca - pañca -

panji - pañji -

Uger-uger akan berbunyi, yaitu:

Saluiring kruna lingga yening wenten n kagantungin antuk c utawi j, wenang n punika kagentosin antuk ny (ñ).

 

Contoh: 2

pascad (penulisan Bali Latin).

Kita lihat gugusan konsonannya, ialah sc. Lambang s adalah termasuk warga dantia dan lambang c termasuk warga talawia, jadi tidak sewarga. Dalam hal ini berlaku juga hukum regresif, yaitu s harus menyesuaikan diri menjadi ç (sa saga).

Jadi tulisan:

pascad - paçcad -

pascima - paçcima -

Uger-uger akan berbunyi:

Saluiring kruna lingga yening wenten s kagantungin antuk c, wenang s punika kagentosin antuk ç (sa saga).

(Caranya mendapatkan s dental menjadi ç talawia, ikuti contoh nomor 1)

 

Contoh 3

Pradnyan (Penulisan Bali Latin)

Kita lihat gugusan konsonannya, ialah dñ. Lambang d adalah termasuk warga dantia dan ñ (ny) termasuk warga talawia. Jadi juga tidak sewarga. Dengan demikian kalau lambang d ditarik vertikal, maka kena aksara j dan berkoordinat dengan aksara ñ (ny).

Jadi tulisan:

pradnyan - prajñan -

adnyana - ajñana -

Uger-uger akan berbunyi

Saluiring kruna lingga yening wenten d kagantungin antuk ny, wenang d punika kagentosin antuk j.

 

Contoh: 4

karna (Penulisan Bali Latin)

Kita lihat gugusan konsonannya ialah rn. Lambang r adalah termasuk warga murdania, sedangkan n adalah termasuk warga dantia. Dalam hal ini hukumnya kelihatan terbalik bukan lagi regresif tetapi progresif, artinya yang di muka mempengaruhinya dan caranya mendapat pasangannya sama saja dengan teori nomer 1, yaitu dengan jalan menarik n (dantia) vertikal hingga kena ņ rambat pada daerah murdania..

Jadi tulisan:

karna - karņa (ņ murdania) -

rana - raņa (ņ murdania) -

Uger-uger akan berbunyi:

Saluiring kruna lingga-yening aksarane ring arep aksara r utawi masurang (r) ring ungkur n, wenang n punika kagentosin antuk ņ rambat (ņ murdania).

Catatan:

Kata Ramayana kalau ditulis dengan tulisan Jawa Kuno Latin akan menjadi Rämäyaņa yang sebenarnya adalah berasal dari dua kata, yaitu: Rämä + ayana (n tidak memakai titik). yang berarti: kisah atau perjalanan Sang Rama. Kemudian setelah kata itu digabungkan maka n dantia menjadi ņ murdania. karena kata Ramayana sudah dianggap satu kata/ nama, misalnya rontal Ramayana / Rämäyaņa

 

Contoh 5

warsa (penulisan Bali Latin)

Kita lihat gugusan konsonannya ialah rs. Lambang ŗ adalah termasuk warga murdania dan lambang bunyi s adalah dantia. Dalam hal ini penyelesaiannya sama dengan contoh 4, yaitu s dantia menjadi ş murdania (sa sapa) dengan jalan menarik vertikal atau ke atas, sehingga terdapat koordinat .

Jadi tulisan:

warsa - warşa -

rasa - räşa -

Uger-uger akan berbunyi:

Saluiring kruna lingga yening aksarane ring arep aksara ra utawi masurang (r) ring ungkur s, wenang s punika kagentosin antuk ş sapa (s murdania).

 

Catatan:

Gejala asimilasi ini sering juga terjadi bukan saja dalam satu kata, tetapi juga dalam dua kata, misalnya:

Asli Asimilasi Gabungan Ditulis
tar + bhära tan + bhära tambhära
dur + çäsana dus + çäsana duççasana
dur + krëta dus + krëta duşkrëta
dur + kita duh + kita duhkita
dur + kha duh + kha duhka
tar + molah tä + molah tämolah
nir + cala nis + cala niçcala

Agar dapat melihat bentuk-bentuk ini kita harus hapal masing- masing jenis warga aksara itu. Hukum-hukum regresif berlaku pada kata-kata ini. Jadi lambang/ bunyi yang di belakang mempengaruhi yang di muka agar sesuai dengan warganya, sebab artikulator mengetuk rangkapan wianjana itu hanya pada suatu titik artikulasi dan tidak dapat mengetuk dua lebih. Mengapa ?

Sebab lidah kita tidak bercabang.

Berkenaan dengan itu maka penulisan kata karna pada tulisan Bali tidak memakai duita, karena menyalahi fonologi di samping tidak praktis kalau ditulis dengan huruf Bali Latin. Jadi tulisan karna menurut hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 tidak memakai duita lagi.

Cukup tulis:

Perlu diketahui, bahwa dalam pasamuhan itu duita karena surang dihapuskan, tetapi duita dari akar kata menjadi kata tetap berlaku.

 

Bunyi ks adalah satu fonem, sama halnya dengan lambang x yang kini diganti dengan lambang ks, misalnya dalam kata:

taxi = taksi =

Sejalan dengan itu maka tulisan Bali Latin:

jaksa
paksa
caksu
aksara
aksara

Uger-uger berbunyi:

Saluiring kruna lingga yening wenten k kagempelin antuk s, wenang s punika kagentosin antuk s sapa (ş).

Lain halnya dengan tulisan Bali:

panak sampi
anak sugih

 

Uger-uger menurut hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 berlaku hanya dalam satu lingga saja.

 

Lepas dari asal-usul bahasa, maka penulisan Bali dari bunyi rangkap yang sewarga tidak mengalami perubahan, misalnya:

Warga dantia

 

tulisan
dalam kata
sandi ngucap
anda
asta
astha
antiang

Warga murdania:

 

tulisan
dalam kata
kanta
pandu
asy-dta
kresy-nha

Warga talawia:

 

tulisan
dalam kata
kancil
sanja
ajnyana
pascad,

Tentang rangkapan wianjana warga kantia dan ostia tidak begitu tetap, karena letaknya sudah agak jauh dari pada ujung lidah selaku artikulator. Tetapi pada warga ostia masih kita dapat lihat rangkapan- rangkapannya, misalnya:

tulisan
dalam kata
tumbak
timpal

 

 

 

  Sebelumnya Selanjutnya