Pura Besakih - Pedarman Pasek

 
1 Bale Piasan
2 Bale Sakulu (Saka-8)
3 Bale Menjangan Saluwang
Linggih Mpu Kuturan
4 Bale Pelinggih
5 Meru Tumpang-7
Linggih Mpu Semeru
6

Meru Tumpang-3
Linggih Mpu Gni Jaya.

7 Bale Pepelik
8 Bale Pelinggih Sari
9 Bale Pengaruman
10 Bale Lempeh
11 Bale Panjang
 

Daivadyantamtadiheta
Pitradyantamna tad bhavet.
Pitradyantamtvihhamanah
Ksipram nasyati sanvayah.
(Manawa Dharmasastra.III.205).

Maksudnya:
Hendaknya seseorang itu melakukan upacara Sraddha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan para Dewa. Hendaknya jangan berakhir dengan pemujaan leluhur. Karena pemujaan yang hanya berhenti pada pemujaan leluhur akan cepat hancur bersama keturunannya.


Kompleks Pura Besakih di samping sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur. Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara. Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Mahadewa dan di utara Pura Batu Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.

Demikianlah berbagai manifestasi Tuhan yang disebut Dewa atau Batara itu dipuja di berbagai kompleks pura di Besakih. Sedangkan tempat pemujaan para leluhur di Besakih disebut Pura Padharman. Fungsi pura memang ada dua yaitu Dewa Pratistha adalah pura untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Atma Pratistha pura untuk memuja roh suci leluhur. Di Besakih juga demikian ada pura untuk memuja para Dewa dan ada pura untuk memuja leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara.
Pura Padharman adalah pura untuk memuja leluhur yang sudah suci yang disebut Dewa Pitara. Di Besakih ada banyak Pura Padharman. Salah satu adalah Pura Padharman Pasek. Di pura ini sebagai tempat pemujaan leluhur warga Pasek. Warga Pasek telah memiliki suatu lembaga bersama yang disebut Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Dengan lembaga yang cukup solid itulah Pura Padharman tersebut dikembangkan sehingga memiliki fungsi yang semakin luas sesuai dengan tuntutan zaman.

Memang pura bukanlah semata-mata sebagai tempat sembahyang dan tempat menyelenggarakan upacara yadnya. Pura Padharman Pasek ini sudah banyak dikembangkan dengan berbagai bangunan pelengkap, sehingga di Pura Padharman Pasek ini dapat berfungsi sebagai pura untuk mengembangkan pendidikan kerohanian baik untuk mendidik calon-calon pinandita maupun pandita.

Meskipun Pura Padharman Pasek ini sudah sedemikian dikembangkan tetapi tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan. Bahkan dalam pengembangan selanjutnya juga didirikan Pelinggih Pepelik sebagai Penyawangan Mpu Gana, Mpu Beradah. Krena Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah adalah lima pandita bersaudara yang disebut Pandita Panca Tirtha.

Mpu Geni Jaya tempat pemujaan utama beliau di Pura Lempuyang Madia sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Sedangkan di Padharman sebagai pemujaan penyawangan. Pura Kawitan memang beda dengan Pura Padharman. Pendirian Pura Padharman di Pura Besakih itu lebih menekankan pada kebijaksanaan penguasa saat itu sebagai media untuk mendudukkan berbagai kelompok warga di Bali dalam posisi setara dan bersaudara. Ini berarti kebijaksanaan raja saat itu menerapkan ajaran agama sabda Tuhan menjadi sistem religi menata sistem sosial untuk membangun dinamika sosial yang harmonis produktif.

Sepanjang pengetahuan, Pura Padharman di Besakih tidak dibeda-bedakan. Maksudnya tidak ada Pura Padharman yang utama, madya dan nista. Apalagi Pura Padharman Pasek sangat jelas yang dipuja di sana adalah para pandita besar seperti Mpu Geni Jaya dengan saudara-saudara beliau Sang Panca Pandita.

Di Pura Padharman Pasek, Mpu Geni Jaya dipuja di Pelinggih Meru Tumpang Tiga (6), Mpu Semeru di Pelinggih Meru Tumpang Tujuh (5). Sedangkan Mpu Kuturan di Pelinggih Manjangan Saluwang (3). Tentang Palinggih Manjangan ini umumnya terdapat pada Merajan Gede keluarga Hindu di Bali. Keberadaan Pura Padharman Pasek ini berdiri di sebelah kanan Pura Panataran Agung Besakih.

Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu raja mendudukkan dengan setara Maha Gotra Sanak Sapta Resi di kerajaan di Bali. Warga Pasek bukanlah warga keturunan Sudra. Warga Pasek adalah keturunan Brahmana. Karena leluhur warga Pasek di Bali dari Mpu Geni Jaya yang menurunkan Sapta Resi. Dari Sapta Resi inilah selanjutnya menurunkan Warga Pasek.

Dalam proses sejarah warga Pasek tidak lagi memegang kekuasaan seperti menjadi raja maupun petinggi-petinggi kerajaan yang lainnya. Karena tidak memegang jabatan maka gelar-gelar jabatan dalam kerajaan pun tidak dipakainya sebagai sebutan di depan namanya. Umumnya warga Pasek menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sebagai sebutan di depan namanya.

Karena tidak berada dalam lingkar kekuasaan kerajaan, warga Pasek disebut orang Jaba. Dalam kenyataannya yang disebut orang Jaba tidak semata-mata dari warga Pasek, dari keturunan Arya dan warga-warga lainnya seperti warga Pande Bujangga Waisnawa ada juga disebut orang Jaba. Yang dimaksud Jaba itu adalah orang yang berada di luar jabatan kerajaan.

Banyak dari orang-orang yang disebut Jaba itu karena tersingkir dalam ''permainan'' kekuasaan. Karena proses sejarah juga lama-kelamaan orang Jaba itu diidentikkan dengan Sudra. Kesalahpahaman ini terjadi karena permainan kekuasaan juga saat itu.

Keturunan Danghyang Dwijendra di Bali disebut Brahmana. Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah. Mpu Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana Wangsa. Tetapi faktanya dalam masyarakat tidak demikian. Itulah sejarah. Ke depan sejarah seperti itu sebaliknya tidak terulang lagi di Bali. Jadikan semuanya itu sebagai pelajaran saja untuk lebih jujur menjalankan sejarah.

Sejarah yang pahit itu tidak perlu diperuncing lagi, untuk selanjutnya jangan ada kekuasaan untuk merendahkan sesama warga. Marilah bangun lagi kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan dalam kehidupan bersama ini. ·

I Ketut Gobyah