Pura Besakih - Pura Jenggala / Pura Hyang Aluh
1 Bebaturan
2 Bale Papelik
3 Gedong Pelinggih Ida Ratu Ayu
4 Bale Papelik
5 Bale Agung
6 Panggungan
7 Bale Sakulu
PURA JENGGALA
Arca Pandita dan Garuda di Pura Jenggala

OM Svastyastu,
http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/30/bd1.htm

Di Pura Jenggala atau Pura Hyang Haluh di samping terdapat pelinggih Gedong sebagai pelinggih utama, terdapat juga dua buah Pelinggih Balai Pepelik dan sebuah Pelinggih Bebaturan, serta sebuah Pelinggih Panggungan untuk meletakkan sesajen. Yang patut kita renungkan lebih dalam adalah adanya Arca Pandita atau Resi dan Arca Garuda. Mengapa arca-arca di Pura Jenggala itu begitu penting diketahui makna dan simboliknya?


Arca Pandita atau Resi di sini menggambarkan bahwa dalam kehidupan di dunia ini upaya untuk mengikuti tradisi kehidupan kepanditaan. Dalam Sarasamuscaya 40 yang dinyatakan sumber dari Dharma adalah Sruti atau Mantra Veda Sabda Tuhan. Smrti adalah hasil renungan dari para resi setelah mempelajari Mantra Veda. Dari Mantra Veda Sruti itulah para resi mengingat-ingat kembali apa yang dipelajari dari Weda.

Dari renungan itulah para Resi menyusun kitab-kitab Smrti agar umat pada umumnya lebih mudah mengamalkan Dharma intisari dari Weda tersebut. Isi dari Smrti itulah juga sumber dari Dharma pula. Seorang dapat disebut resi apabila sudah dapat mendalami isi Weda tersebut sampai ia disebut sang Sista. Kebiasaan hidup para Pandita Resi yang Sista itu juga disebut sebagai sumber Dharma. Seseorang akan dapat mengatasi gelombang hidup duka dan duka di dunia ini apabila ia senantiasa berpegang pada Dharma yang didapatkan dari Sruti, Smrti dan Sistacara.

Arti Sistacara ini adalah tradisi hidup pandita ahli. Pengertian ahli di sini bukan ahli seperti ilmuwan dewasa ini. Sista tersebut adalah pandita yang sudah berhasil menghayati dengan sempurna Dharma yang terdapat dalam Weda Sruti dan Weda Smrti. Bukti keberhasilannya itu akan tampak dalam kebiasaan hidupnya sehari-hari.

Kebiasaan hidup Pandita yang Sistacara itulah yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk mengatasi hiruk-pikuknya gelombang suka dan duka. Orang yang dapat mengatasi suka duka itulah yang dapat disebut sudah mencapai Atmanastuti atau hidup dengan kepuasan Atman. Mereka selalu hidup bahagia meskipun ada dalam keadaan suka dan duka. Artinya hiruk-pikuk kehidupan di luar dirinya sudah tidak mampu mengintervensi jiwanya. Inilah yang disebut dengan Atmanstusti sebagai tujuan dari pengamalan Weda.

Hal ini juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.6. Sruti diamalkan menjadi Smrti atau Dharmasastra. Dari Smrti inilah terus dirumuskan ke dalam kitab-kitab Sila seperti Itihasa dan Purana. Dalam kitab tersebut Sila itu dijabarkan dalam wujud cerita yang mengandung nilai sejarah. Karena itu disebut Itihasa. Kata Itihasa dalam bahasa Sansekerta artinya sejarah. Sejarah pengamalan Dharma inilah yang dikaryasastrakan oleh para resi menjadi Itihasa dan Purana atau histori yang distorikan bagaikan karangan dalam bentuk roman sejarah.

Dengan adanya Arca Resi dan Pura Jenggala ini hendaknya umat dalam mengatasi gelombang suka dan duka dalam hidup di dunia ini melakukan Resi Yadnya. Dalam kitab Agastia Parwa Resi Yadnya dinyatakan: Resi Yadnya ngarania kapujang ring Sang Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wwang. Artinya, Resi Yadnya namanya berbakti pada pandita dan paham akan hakikat diri sebagai manusia.

Agar kita dapat memahami hakikat diri hidup sebagai manusia rajinlah secara teratur membacakan kitab sastra suci karya para resi. Dengan rajin membaca kitab-kitab sastra suci itu kita akan mendapatkan pencerahan diri secara bertahap sampai kitab benar-benar paham akan hakikat hidup di dunia ini. Dengan pemahaman itu seseorang akan dapat menyelenggarakan hidup ini lebih elegan tak mudah diombang-ambingkan oleh hiruk-pikuknya zaman Kali ini.

Adanya Arca Garuda di Pura Jenggala ini juga menggambarkan bahwa garuda itu adalah nama dewa yang dinyatakan dalam Weda dengan sebutan Dewa Garutma. Tetapi Arca Garuda ini kemungkinannya diambil dari cerita Amerta Mantana atau ceritra Mandara Giri dari kitab Adi Parwa. Resi Kasyapa memiliki dua istri yaitu Dewi Winata dan Dewi Kadru. Dua istrinya ini diberikan dua buah telor untuk dikeram.

Ternyata telor yang diberikan kepada Dewi Kadru menetas menjadi ribuan naga. Karena diikat suatu perjanjian, Dewi Winata menjadi budaknya naga putra Dewi Kadru. Setelah Dewi Winata berputra Garuda barulah dia dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga karena digantikan oleh Garuda. Garuda juga dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga setelah mendapatkan Tirtha Kamandalu dari Batara Wisnu. Garuda mendapatkan air suci itu setelah bertempur dengan para dewa di sorga.

Puncak cerita Dewa Wisnu akan memberikan Tirtha suci tersebut kalau Garuda mau menjadi wahana atau kendaraan Dewa Wisnu. Garuda pun amat bersedia menjadi wahana Dewa Wisnu. Dengan Tirtha suci itulah Garuda dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga. Cerita tentang Garuda sesungguhnya cukup panjang diceritakan di kitab Adi Parwa.

Yang utama direnungkan adalah makna Arca Garuda dalam membebaskan dirinya dari perbudakan naga ini. Kata naga di samping berarti ular besar juga berarti dunia. Ini artinya manusia atau Atman kita akan dapat mencapai sorga apabila manusia dapat membebaskan diri dari perbudakan dunia yang fana ini. Ini bukan berarti kita harus hidup menjauhi dunia. Yang penting dunia ini jangan menjadi tujuan kita.

Dunia yang fana ini adalah alat atau media manusia mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia sekala dan niskala. Hal ini akan dapat dicapai apabila kita mendapatkan persatuan dengan Tuhan sebagai Garuda menjadi alat wahananya Dewa Wisnu. Tirtha Kamandalu itu adalah simbol suci untuk mencapai kehidupan yang baik, tidak melalui pengumbaran hawa nafsu. Justru kehidupan yang mulia itu dicapai dengan melalui pengendalian nafsu atau Kamandalu. Hidup bahagia itu bukan dengan pengumbaran hawa nafsu. Dengan itulah Sang Hyang Atma akan mendapatkan peningkatan terus di Para Loka sampai mencapai apa yang disebut Moksa Loka. Itulah tujuan tertinggi dari upacara Pitra Yadnya.

* wiana

Pura Jenggala, Hulu Prajapati di Bali


http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/30/bd2.htm

Nityamewa sukham svarge sukham duhkhamilobhayam. Narake duhkhamevaitam mokse tu paraman sukham. (Sarasamuscaya 362)

Maksudnya
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.

Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala. Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih.

Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar sekali.

Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik atau ayu.

Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi Siwa Durgha sebagai penguasa Setra.

Di setra desa pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu.

Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi Dewa Pitara.

Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.

Kalau sudah saatnya akan melaksanakan upacara ngaben tiga hari sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut upacara ngendagin atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh yang masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning pada Sedahan Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu lain sebutan dari Sang Hyang Siwa Durgha.

Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah satu bagian dari simbol Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum diupacarai oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan Para Loka ini menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara dalam hidup ini dan kelak.

Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya seperti Yama Purana Tattwa menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan gentayangan ke desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala. Mensatnakan roh yang masih berstatus Preta itu dilakukan dengan Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah ngaben akan dilanjutkan dengan Tirtha Pengentas Pemuput.

Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang hulunya di Pura Jenggala di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala ini berasal dari kata Jeng dan Gala. Jeng artinya sebutan kehormatan untuk wanita dan kata gala dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan. Mungkin pula kata jeng itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya rahayu atau selamat. Dan dari kata gala yang berarti lampu ini menjadi kata galang.

Dengan demikian tujuan dari permohonan kepada Sedahan Setra atau Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini terus-menerus mendapatkan penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan kepada roh yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu yang berstana di Pelinggih Gedong di Pura Jenggala itu.

Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau Preta yang berada di Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura Prajapati. Karena saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus menghadapi gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala ini ialah dapat disebut manusia hidup berbahagia.

Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan Samaduhkham dhiram. Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Karena di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas.

Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka. Karena itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya menambah karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau sebaliknya justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan adalah karma yang bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk yang diperbuat upacara ngaben itu hanya menambah karma baiknya saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang. Hanya permohonan umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.*

I Ketut Gobyah