Pura Pangukur-ukuran
 
 
Pura Pangukur-ukuran diyakini jadi tempat mengukur kekuatan Bali tempo dulu. Di sinilah kemampuan Kebo Iwa ditakar sebelum menjadi mahapatih Kerajaan Bali Kuno.

Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, memiliki banyak tempat suci yang dilengkapi ritus-ritus purba. Sebut, misalkan, Pura Penataran Sasih, Pura Kebo Edan, atau Pura Pusering Jagat. Di antara situs-situs tua itulah berdiri Pura Pangukur-ukuran. Lokasinya di Desa Pakraman Sawagunung, Desa Pejeng Kelod.

Beragam kisah dapat dicermati dari keberadaan pura di tepi Tukad Pakerisan ini. Mulai dari jenis palinggih (bangunan suci) hingga tinggalan purbakala yang tersimpan di dalamnya.

Tradisi lisan di Pejeng dan sekitarnya menyebutkan, pura berluas 2 ha ini konon menjadi tempat para raja Bali Kuno mengukur tanah Bali. Termasuk mencari tempat yang cocok buat membangun pura pusat. Kemudian dari Pura Manik Corong, di Desa Pejeng, membidik daerah yang cocok dibangun Pura Basukian. Ada perkira-kiraan semula sang raja hendak membangun Pura Basukian (Besakih) di sebelah utara areal Pura Pangukur-ukuran. Di lokasi ini hingga kini ada peninggalan berupa tanah lapang berdasar batu padas seluas 150 m2. Konon setelah melalui berbagai pertimbangan, di antaranya lokasi pura terlalu di tengah, kurang menunjuk arah timur laut, keinginan membangun Pura Basukian di areal Pura Pangukur-ukuran pun tak dilanjutkan. Kawasan pinggang Gunung Agung (kini bernama Desa Besakih), menjadi pilihan membangun Pura Basukian. “Itu sebab antara Pangukur-ukuran dengan Manik Corong memiliki hubungan erat,” kisah Jero Mangku Dewa Gede Rauh, Pamangku Pamucuk Pura Pangukur-ukuran.

Selain dengan Pura Manik Corong, Pura Pangkur-ukuran juga bertalian dengan Pura Tirta Mangening, Pura Gunung Kawi, dan pura lain di sepanjang Tukad Pakerisan. Hubungan terjadi tak lepas dari berbagai peninggalan yang ada. Sumber air yang melewati Tukad Pakerisan juga berasal dari Tirta Mangening di hulunya. Pura ini juga terkait dengan Pura Samuan Tiga, di Banjar Marga Bingung, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh. Konon usai para raja menentukan lokasi pembangunan Pura Basukian dan Pura Pusering Tasik, semua raja akhirnya berkumpul di Pura Samuan Tiga, merembugkan rencana menata Bali secara utuh dan menyeluruh.

Toh kekunaan situs Pangukur-ukuran tak sebatas berdasar tradisi lisan setempat. Di sini juga terdapat peninggalan bernilai prasejarah dan sejarah, berupa Candi Agung dan ritus purbakala yang tersimpan di palinggih Ratu Bujangga. Di sebelah timur pura, tepatnya di tepi Tukad Pakerisan, terdapat peninggalan Goa Garba. “Gua ini,” tegas Dewa Gede Badung, mantan Klian Subak Sawogunung, yang kini dipercaya sebagai penjaga pura, “menjadi tempat samadi Mahapatih Kebo Iwa dari Kerajaan Bedahulu, ketika hendak menambah bangunan, termasuk membuat tembok pembatas Pura Pangukur-ukuran.” Selain Candi Agung, Goa Garba, dan arca, ada pula peninggalan gapura yang menghubungkan Candi Agung dengan Patirtaan di sebelah timur Pura Pangukur-ukuran.

Patirtaan ini hingga sekarang tetap dimanfaatkan sebagai sarana air suci (tirta) serta sarana mencuci (ngingsah) beras yang dijadikan bahan upacara. Di sebelah selatan pura terdapat jalan setapak dari batu tua serta sisa-sisa pintu gerbang dari batu padas. Jalan ini menuju ke Goa Garba. Di antara jalan setapak tersebut, ada satu batu berisi bekas tapak kaki yang ukurannya melebihi ukuran telapak kaki manusia biasa. Masyarakat Sawagunung dan sekitar meyakini telapak kaki ini bekas hentakan kaki Kebo Iwa, saat membuat jalan menuju ke Pura Pangukur-ukuran. Berbagai ritus purbakala tersimpan di Pura Pangukur-ukuran.

Tapi, kapan istilah pangukur-ukuran pertama kali muncul? Berbagai versi berkembang. Ada mengait-ngaitkan dengan tempat raja-raja Bali Kuno mengukur wilayah kekuasaannya. “Ada pula menghubung-hubungkan dengan keberadaan Kebo Yuwa (Kebo Iwa), seorang keturunan Arya Karang Buncing saat hendak menjadi mahapatih di Kerajaan Bedahulu,” Dewa Gede Raka, Bandesa Pakraman Sawagunung, menuturkan. Sebelum Kebo Iwa diterima resmi menjadi patih di Kerajaan Bedahulu, kemampuannya diuji oleh beberapa petinggi kerajaan, termasuk dengan Ki Pasung Grigis, yang terkenal memiliki kesaktian. Tempat mengukur kesaktiannya ini bernama Dharmma Hanyar.

Setelah melalui berbagai ujian, akhirnya Kebo Iwa tak terkalahkan. Dia diterima menjadi mahapatih di Kerajaan Bedahulu. Oleh karena kedigjayaan Kebo Iwa diukur di Dharmma Hanyar, tempat tersebut lamat-lamat disebut Pangukur-ukuran. Mana yang benar? Belum bisa dipastikan. Terkecuali pendirian Pura Pangukur-ukuran yang bisa diperkirakan berdasarkan peninggalan yang ada. Satu di antaranya laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kebudayaan Suaka Peninggalan dan Purbakala. Dalam laporan yang diterbitkan tahun 1985 itu disebutkan, Pura Pangukur-ukuran memiliki bukti pendirian berupa prasasti yang disebut Prasasti Pura Pangukur-ukuran atau di kalangan ahli prasasti lebih dikenal dengan nama Prasasti Ambang Pintu. Penamaan ini muncul karena prasastinya terletak pada sebuah pintu gerbang (pamedal) pura. Prasasti yang terbuat dari batu padas memiliki panjang 130 cm, lebar 52 cm, dan tebal 18 cm, itu hanya memuat tiga baris kata.

Adapun tulisan yang tertuang dalam prasasti Pura Pangukur-ukuran sebagai berikut:
1….suasti cri caka warsatitanagata wartamana 1116-phalgunamasa tithi pancami cuklapksa.
2….a…wa..wr ning julung pujut dewa arta. Irika dewasa nira mpungkwing dharma hanar guru aji mapanji jiwaya-a
3 …..amurnajiwa ingkang astapaka mowah bhyumi bhatari 1 jro I H 9eng) apanti maka muka mukan ratna kunya (Rapa)…da….
Artinya :
1 …..Selamat Berbahagia tahun caka yang telah lewat yang akan datang dan yang sedang berjalan (saat ini) 1116, bulan kedelapan (sasih kawulu) pada hari kelima paro terang (pananggal ping lima).
2…..Urukung, wage, wraspati, wuku pujut, dewanya arta, pada saat itulah beliau orang suci di Dharmma Hanyar sebagai guru sang raja (bawaganta) bernama Jiwaya.
3……. telah sempurna jiwanya dalam hal astapaka (kawikon) dan lagi wilayah (linggih) batara-batari di dalam dan di luar (jeroan dan jaba) pura sebagai hulu di Ratna Kunjara Pada.

Bila berpijak dari pananggalan yang termuat dalam prasasti Pura Pangukur-ukuran, yaitu: Wraspati Wage Pujut, Pananggal Ping Lima Sasih Kawulu, tahun 1116 Saka, maka dapat diindikasikan pura kahyangan jagat ini diperluas pada tahun 1116 Saka atau 1194 Masehi, yang di-plaspas seorang bagawanta kerajaan bergelar (mapanji) Jiwaya atau Jiwajaya. Selain mengetahui tahun pendirian pura, dapat diketahui pula bahwa sebelum bernama Pangukur-ukuran pura ini bernama Dharmma Hanyar. Ini dapat diketahui dari kalimat “mpungkwing dharma hanar” yang berarti pendetaku di “Dharmma Hanyar” bergelar Jiwaya—kini distanakan di palinggih Ratu Bujangga. Berkat kehadiran guru besar (dang arcaryya) Jiwaya itulah, kata Dewa Raka, status Pura Pangukur-ukuran kerap disebut sebagai dang kahyangan. Layaknya pura di Bali yang menganut konsep trimandala, areal Pura Pangukur-ukuran juga terbagi tiga. Pada tiap bagian dibangun beberapa palinggih. Bhur (paling dalam/jeroan), di antaranya ada Candi Agung berbahan batu padas yang menjadi palinggih pusat. Di dalamnya terdapat pratima terbuat dari batu sebagai simbol Ida Batara Putra Jaya. Bagian bawah candi, dari lantai bilik sampai bagian dasar candi konstruksinya masih berupa batu padas lama. Dari bagian bilik ke atas merupakan pasangan baru.

Dari penuturan para tetua di Sawagunung, tahun 1917 pernah terjadi gempa dahsyat di Bali. Besar kemungkinan bagian atas Candi Agung rusak sehingga tahun-tahun berikutnya diperbaiki. Di sebelah kanan bangunan padmasana terdapat gedong panyawangan Ida Batara di Pura Gunung Agung. Pada deret utara, dari timur ke barat, masing-masing ada palinggih panyawangan Ida Batara di Pura Batur, gedong stana Ida Batara di Gunung Lebah, Ida Batara di Tirta Empul.

Di depan Candi Agung terdapat bale pasamuhan sebagai tempat menstanakan Ida Batara yang diwujudkan dengan beragam simbol (pratima), saat berlangsung upacara. “Waktu upacara ada sekitar sembilan tapakan Ida Batara hadir di sini. Selain dari pura kahyangan jagat yang ada di sekitar Pejeng, ada pula dari Bangli dan Singapadu, Gianyar,” tunjuk Bandesa Pakraman Sawagunung, I Dewa Gede Raka.

Sebelah selatan bale pasamuhan ada palinggih Ratu Madeg, satu-satunya gedong berpintu keluar menghadap ke timur. Di tempat suci inilah warga memohon agar upacara yang hendak digelar di Pura Pangukur-ukuran atau tempat suci lain di Desa Sawagunung berjalan aman, nyaman, dan lancar.
Menempel dengan gedong Ratu Madeg, ada palinggih Ratu Tukang, tempat mohon izin sebelum warga memulai membikin aneka sarana sesaji. “Di sini tak ada berani mengaku diri sebagai tukang banten. Semua menjadi pangayah,” ingat Dewa Badung. Warga yang hendak ngayah membikin sesaji terlebih dulu diperciki tirta dari Palinggih Tukang.

Pada areal bawah (jaba tengah) terdapat palinggih Ratu Bujangga, berlokasi di sebelah kanan (utara) pintu masuk ke jeroan. Dalam palinggih ini, selain tersimpan arca Siwa Guru (Ratu Bujangga), juga ada peninggalan lain, seperti prasasti Pura Pangukur-ukuran dan arca dari batu lainnya.
Mengingat di pura ini sudah distanakan Ida Ratu Bujangga, maka setiap kali menggelar upacara, tidak lagi menggunakan pendeta (sulinggih) memimpin jalan upacara. Cukup diselesaikan Jero Mangku Pamucuk Pura Pangukur-ukuran, dengan didahului mohon tirta atau kakuluh Ida Batara.

Keengganan masyarakat pangemong pura menggunakan sulinggih sebagai pamuput karya, bukan tanpa alasan. Dalam cermatan Dewa Badung, pernah suatu kali masyarakat memohon kehadiran seorang pendeta untuk menyelesaikan upacara di pura ini. Mengingat begitu banyak sesajian yang hendak dipersembahkan, warga merasa kurang mantap bila secara sakala tanpa dipimpin pendeta langsung.

Benar saja, usai muput upacara di Pura Pangukur-ukuran, beberapa saat kemudian sang pendeta sakit. Belum genap seminggu, pendeta itu pun wafat. Sejak saat itu, sebesar apa pun upacara yang dilaksanakan, warga tetap tak menggunakan pendeta. Cukup dipimpin jan banggul Ida Batara Putra Jaya, pamangku utama pura setempat.

Di utara Ratu Bujangga ada palinggih gedong Ratu Panji. Saat umanis piodalan (sehari setelah puncak upacara), stana Ida Batara Putra Jaya, berupa pratima akan dipindahkan dari palinggih pasamuhan agung di jeroan ke gedong Ratu Panji, sedangkan tapakan Ida Batara dari desa lain, distanakan pada bale pasamuhan pada deret utara. Kemudian ada gedong panyawangan Ida Batara di Pura Goa Lawah. Di jaba sisi, ada bangunan pelengkap, seperti wantilan dan palinggih Sedahan Apit Lawang. Upacara di Pura Pangukur-ukuran datang tiap Purnama Karo (Agustus) dengan lama piodalan tujuh hari. Puncak karya tak mesti bertepatan dengan bulan Purnama, bisa mundur atau maju sehari. Patokannya hari Pasah, sesuai pembagian kalender Bali. Jika Pasah datang setelah atau sebelum Purnama Karo, maka saat itulah puncak upacara. Meski berstatus pura kahyangan jagat, toh biaya upacara dan pembangunan di tempat suci ini hampir sepenuhnya ditanggung pangemong. Beda dengan beberapa pura sejenis di tempat lain yang mendapat dana pasti dari pemerintah daerah. Kondisi inilah, menurut Dewa Raka, terkadang dikeluhkan warga pangemong yang berjumlah 200 KK—pura ini di-empon dua desa pakraman: Sawagunung dan Gepokan.

Padahal, selain bertanggung jawab terhadap Pura Pangukur-ukuran, mereka juga melaksanakan ritual keagamaan dan pembangunan di pura lain. “Ada memang bantuan dana dari pemerintah, cuma mesti mengajukan proposal terlebih dulu. Bukan biaya tetap,” tambah Dewa Raka. Sepatutnya, memang, pemerintah daerah memberi perhatian mendalam terhadap pura tua, seperti Pangukur-ukuran ini.
Di sana orang bisa ‘membaca’ denyut kearifan peradaban rohani tanah dan manusia Bali masa silam.

Di Gua Garba Kebo Iwa Bersila
Bila Anda bersembahyang atau berkunjung ke Pura Pangukur-ukuran, di Banjar Sawa Gunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, jangan pernah lupa singgah ke Pura Goa Garba. Inilah tempat suci di tebing timur yang satu kawasan dengan Pura Pangukur-ukuran. Areal pura tak begitu luas, memang, tapi di sini tertera kisah unik. Goa Garba, konon, semula menjadi tempat samadi Mahapatih Kebo Iwa, kepercayaan Raja Bali saat berpusat di sekitar Pejeng.

Pada zaman pemerintahan Raja Bedahulu, Mahapatih yang juga berjulukan Kebo Taruna ini mendapat tugas memelihara dan membangun tempat suci di pinggiran Tukad Pakerisan, termasuk Pura Pangukur-ukuran. “Di pura ini dulu hanya ada satu bangunan Gedong Agung,” urai Dewa Gede Badung, tetua Desa Pakraman Sawa Gunung.

Mendapat titah sang Raja, Kebo Iwa pun menuju lokasi Pangukur-ukuran bersama beberapa orang kepercayaannya, untuk membangun pura. “Selama proses pembangunan berlangsung itulah, konon Kebo Iwa bersamadi di tebing ini,” tunjuk Dewa Badung. Tempat Kebo Iwa bersila tepekur itu kemudian dinamakan Pura Goa Garba—layaknya gua garba Ibu Alam Semesta. Ada berbagai peninggalan bersejarah di pura ini, antara lain topeng berbahan batu padas, lingga, dan peninggalan lain. Semua benda-benda bernilai sejarah ini berada dalam satu gua. Pada atap sebuah ceruk di gua ini terdapat tulisan tipe Kediri Kwadrat berbunyi ‘sra’. Hingga kini belum terpecahkan, entah apa makna tulisan itu. *I Wayan Sucipta