Pura Payogan Agung Kutai
 
 
Menelusuri Jejak Hindu di Kaltim (1)

Berakhir pada Darma Setia

Kalimantan ternyata tidak hanya memukau karena ada Sungai Mahakam yang mencabiknya. Atau rimba raya, aneka fauna langka, tambang migas dan batu baranya. Di sana juga ada pura, tepatnya di Kutai Kartanegara, satu dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Timur (Kaltim). Pura Payogan Agung Kutai, begitu namanya memendam nilai historis tentang sejarah diri, tak hanya bagi umat Hindu, tetapi juga bagi bangsa ini. Mengapa? Berikut secuil catatan wartawan Bali Post Gregorius yang sempat mengunjungi tempat suci itu bersama rombongan Famtrip Garuda dari Denpasar.


PERJALANAN dari Denpasar ke Balikpapan dengan menyinggahi Makassar untuk mencapai Pura Payogan Agung, Kutai sugguh suatu ''pendakian spiritual''. Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 4 jam dari Balikpapan menuju Tenggarong, Kutai Kertanegara sangat melelahkan, tetapi dalam perspektif rohani justru menjadi semacam ekstase ketika akhirnya kita menemukan ''sejarah diri'' di pura yang terletak di Jalan Loah Ipuh, Gg. Nusa Indah, Tenggarong itu.

Rombongan dari Bali yang bertolak dari Balikpapan tiba sekitar pukul 12.00 wita di Tenggarong. Setelah sejenak mengunjungi Museum Mulawarman di kota yang sama, rombongan menuju Pura Payogan Agung, Kutai yang jaraknya sekitar 4 km dari museum. Terik matahari yang seolah menikam ubun-ubun tak mengurangi niat sejumlah umat Hindu dalam rombongan untuk melaksanakan sembahyang tirtayatra.

Pura Payogan Agung, Kutai sendiri memiliki nilai historis. Pemangku Pura Payogan Agung IB Dwijatenaya memaparkan, pura ini diresmikan tahun 1998. Pembangunannya sebagian ditanggung pemda setempat (Rp 1,2 milyar), plus dana punia dari umat Hindu se-Tanah Air, termasuk dari Bali. Bahkan, pria kelahiran Tabanan yang juga dosen ini mengaku Bali Post ikut berperan dalam sosialisasi tahapan pemugaran Pura Payogan Agung, Kutai.

Made Santha dari Satriavi Balikpapan memaparkan, pura ini punya nilai historis, bukan saja bagi umat Hindu setempat, melainkan bagi umat Hindu di seluruh Nusantara. Betapa tidak, Kutai merupakan suatu daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu di Indonesia. Periode pengaruh Hindu India adalah masa kedatangan para pedagang dan Brahmana India.

Dalam sejarah disebutkan, pada abad ke-4 Masehi, ada sebuah berita dari India yang menyebut kata Queetaire yang diduga berasal dari Kutai Kertanegara yang berarti hutan belantara. Bukti adanya relasi India-Kutai diperkuat dengan ditemukannya peninggalan prasasti berupa tiang batu (Yupa). Isi prarasti berupa peringatan upacara kurban kepada para Brahmana berupa antara lain ribuan ekor lembu.

Daerah Kutai adalah daerah yang dilintasi garis kathulistiwa, garis tengah bumi. Ilmu perbintangan Hindu (Jyotisha) sangat memperhatikan posisi alam semesta seperti posisi matahari, bulan dan bumi dalam garis lurus. Artinya, ketika bulan dan matahari tegak lurus di atas kathulistiwa dipilih oleh umat Hindu saat itu untuk melaksanakan upacara-upaya tertentu, seperti Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya.

Para Brahmana sangat sentral perannya dalam membangun Kerajaan Kutai Kertanegara yang raja pertamanya adalah Kudungga. Kemudian lahir putra mahkota Aswawarman yang menjadi raja kedua dengan tiga orang putra yang satu di antaranya bernama Mulawarman. Kelak, Mulawarman merupakan penerus tahta Kutai Kertanegara. Pada masa pemerintahan Mulawarman-lah, Kutai mengalami kejayaan dan rakyatnya makmur.

Saat itu dibangun tempat ibadah berupa pura di berbagai tempat. Kendati Pura Payogan Agung, Kutai yang berdiri kini letaknya tidak persis di pusat bekas Kerajaan Kutai Kertanegara, namun lokasi yang dipilih tetap istimewa. Ini sebagai penanda bahwa sembilan abad, sampai abad ke-13 (saat pemerintahan Darma Setia), kerajaan Hindu pernah berjaya di Kalimantan yang pengaruhnya kala itu sampai ke pelosok Nusantara. (bersambung)

Menelusuri Jejak Hindu di Kaltim (2-Habis)

Lembu Suana, Simbol Kota Tenggarong

Kemasyuran Kerajaan Kutai Kartanegara pernah setara dengan Majapihit dan Mataram. Namun akhirnya pameo usang: tiada yang abadi di dunia ini akhirnya terjadi pula pada kerajaan Hindu yang berpusat di Kaltim itu. Setelah berjaya hampir 13 abad sejak Kudungga, raja pertama, dengan puncak keemasan di era Mulawarman -- raja ke-3 -- Kutai Kartanegara akhirnya perlahan redup.

Pada saat mulai redupnya Kerajaan Kutai Kartanegara Mulawarman berpusat di Muara Kaman, pada abad ke-13 berdiri pula kerajaan baru bercorak Hindu Jawa di hilir Sungai Mahakam. Namanya Kutai Kartanegara Kertanegara dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Seiring dengan perjalanan waktu, sebagaimana kisah raja-raja Nusantara lainnya, terjadi saling serang dan saling takluk.

Perang dahsyat antara Kutai Kartanegara Mulawarman yang saat itu dipimpin Darma Setia dari dinasti ke-27 dengan Kutai Kartanegara Kertanegara yang dipimpin Aji Sinum Panji tak bisa dielakkan. Perang yang memakan banyak korban itu berakhir dengan kekalahan Darma Setia. Kejayaan Kutai Kartanegara Mulawarman yang terukir sepanjang 13 abad pun terkubur bersama kusuma kerajaan.

Aji Sinum Panji kemudian melebur negeri taklukannya menjadi Kutai Kartanegara Kertanegara dengan pusat di Jahitan Layar, yang kini disebut Kutai Kartanegara Lama. Setelah Raja Aji Sinum Panji wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Dipati Agung (1635 - 1650). Singkatnya, secara turun-temurun keturunannya memimpin sampai yang terakhir Sultan A.M. Parikesit (1915-1960).

Sejak tidak diakuinya kesultanan dalam struktur birokrasi RI, keturunan AM Parikesit akhirnya tak memperoleh kekuasaan secara formal. Kendati demikian, jejak Kerajaan Kutai Mulawarman dan Kutai Kertanegara tetap dikenang dan hadir di hati warga Kutai Kartanegara sampai kini. Bila kita berkunjung, prasasti berupa Yupa era Mulawarman bersama peninggalan sejarah lainnya masih bisa disaksikan di Museum Mulawarman, Tenggarong.

Hormati Leluhur

Yang menarik, masyarakat dan pemda setempat tampaknya sungguh menyadari sejarah masa lalunya. Kendati sisa-sisa keturunan langsung raja Hindu Kutai Kartanegara tak lagi ditemukan, masyarakat setempat yang kini mayoritas beragama Islam (yang beragama Hindu hanya 30 KK, itu pun semua pendatang) tetap menghormatinya. Antara lain membatu sepenuhnya dalam pemugaran Pura Payogan Agung dan menetapkan Lembu Suana sebagai simbol Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Kini, patung Lembu Suana dalam ukuran besar berdiri megah di Pulau Kumala, suatu delta di tengah Sungai Mahakam yang disulap jadi kawasan wisata. Patung Lembu Suana berwarna legam keemasan di Pulau Kemala, Kutai Kartanegara itu merupakan buah karya pematung kawakan kelahiran Bali, Nyoman Nuarta. Elok dan artistik sekali jika dipandang dari menara putar (sky tower) di ketinggian 80 meter. (gre)

Pura Payogan Agung Kutai Jadi Tujuan "Tirtayatra"

Terkait pengenalan rute baru Denpasar - Balikpapan (pp), Garuda Indonesia Denpasar menggelar Famtrip. Kegiatan ini diikuti kalangan travel agent, perhotelan, kargo, asosiasi pariwisata dan unsur pemerintah serta wartawan. Kegiatan ini berlangsung tiga hari sejak Jumat (4/5) lalu dimulai di Balikpapan. Selama di Kaltim, peserta Famtrip sempat mengikuti berbagai program, antara lain mengunjungi museum, tirtayatra, berwisata dan hotel inspection. Berikut laporan perjalanan wartawan Bali Post Gregorius Rusmanda yang ikut serta dalam Famtrip yang diprakarsai Garuda Denpasar itu.

-----------------------------------------------------------

Untuk mencapai Balikpapan kini, tak lagi perlu bersusah-susah melewati Surabaya dan Jakarta dengan risiko penundaan berjam-jam. Sejak 23 April lalu, Garuda Indonesia sudah melayani rute baru Denpasar - Balikpapan (pp) dengan transit di Makassar atau Yogyakarta. Perjalanan dari Denpasar ke Balikpapan sekitar 2 jam 15 menit plus waktu transit sekitar 20 - 30 menit.

Dengan menggunakan pesawat GA 544 milik Garuda Indonesia, rombongan kami tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Jumat (4/5) sore pkl. 18.10 wita. Renyai hujan menyambut kami di ujung kota Balikpapan yang bersih dan cukup hijau. Setelah mengikuti acara penyambutan di Blue Sky Hotel, rombongan bermalam di Comfort Hotel Sagita, jaraknya 30 menit perjalanan dari Bandara Spinggan.

Keesokannya pagi-pagi sekali, pkl. 07.30 wita, rombongan Famtrip sudah berangkat ke Tenggarong, Kutai Kartenegara yang jaraknya sekitar 70-an km dari Balikpapan. Perjalanan darat yang cukup melelahkan bisa diobati dengan banyolan Joko Purwanto dari Trans Borneo Adventure Tours & Travel Balikpapan. Sepanjang perjalanan Joko banyak membanyol dan menghibur.

Ketua Rombongan Famtrip dari Bali Hary Manopo dan "Kepala Suku" Made Bagiada, GM Grand Bali Beach, terpingkal-pingkal mendengar anekdot-anekdot Joko. Bagiada disebut "Kepala Suku" karena dialah peserta paling berumur dalam rombongan. Kendati medannya tidak terlalu berat, namun karena di kiri-kanan jalan banyak dijejali hutan melulu, tak pelak rasa kantuk menyergap sebagian peserta.

Pintu Masuk

Balikpapan, Samarinda dan Tenggarong merupakan tiga kota yang paling populer di Kalimantan Timur. Balikpapan merupakan "pintu masuk" ke Kaltim karena di sanalah terletak Bandara Sepinggan. Samarinda merupakan ibu kota Propinsi Kaltim dan Tenggarong adalah ibu kota Kutai Kartanegara, kabupaten terkaya di Indonesia.

Balikpapan dan Samarinda mungkin banyak dikenal sebagai poros ekonomi di Kalimantan, khususnya Kaltim. Sementara Kutai Kartanegara juga memendam nilai historis. Di sana pada abad ke-14 pernah berdiri kerajaan Hindu tertua, yakni Kutai Kartanegara dengan raja pertamanya Kudungga. Kerajaan ini sempat menikmati masa keemasan pada masa pemerintahan Mulawarman.

Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kertanegera, yang luasnya 76,3 kilometer persegi ini terletak sekitar 45 kilometer sebelah barat Samarinda, Kaltim. Atau kalau ditilik dari Balikpapan, jauhnya sekitar 3 jam perjalanan. Perjalanan darat dari Balikpapan cukup melelahkan kendati Bukit Suharto dan Sungai Mahakam yang panjangnya mencapai 920 km bisa menjadi teman seperjalanan.

Sepintas, Tenggarong tidak berbeda dibandingkan dengan ibu kota kabupaten lainnya di Indonesia. Tata kotanya cukup bagus dengan hiasan taman yang asri. Menurut Joko Purwanto dari Trans Borneo Adventure Tours -- guide kami selama di Kaltim -- dengan PAD di atas Rp 2 trilyun per tahun memang membuat pemda setempat bisa membuat kreasi apa pun. Termasuk mengembangkan pariwisata di Pulau Kumala.

Tidak mengherankan karena di Kabupaten Kutai Kertanegara terdapat berbagai sumber kekayaan alam. Seperti tambang minyak dan gas, tambang batu bara dan hasil kayu dari hutan yang tersebar hampir di seluruh wilayahnya.

"''engan dana sebanyak itu, pemkab di sini bisa membangun segala hal dengan spirit program Gerbang Dayaku, singkatan dari Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai," jelas Joko.

Melalui program ini, Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara ingin meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Saban tahun, Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara mengucurkan dana Rp 1 milyar bagi tiap desa/kelurahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa. Juga untuk pengadaan bibit tanaman dan hewan serta pinjaman untuk modal usaha.

Pengembangan sektor pariwisata di sana juga cukup pesat, kendati dari segi pemeliharaan dan dukungan SDM belum begitu memadai. Pembangunan pariwisata di wilayah ini terbagi dua, yakni pariwisata modern (buatan) dan pariwisata alam.

Pariwisata modern ditunjukkan dengan pembangunan Pulau Kumala -- sebuah delta seluas 76 hektar yang berada di tengah-tengah Sungai Mahakam.

Menurut Joko, awalnya banyak warga yang mencemooh pengembangan Pulau Kumala ini, namun Pemkab Kutai Kertanegara jalan terus. Setelah hampir rampung, Pulau Kumala cukup mempesona. Di salah satu bagiannya berdiri megah patung Lembu Suana yang merupakan simbol kota Tenggarong. Kini, pulau mungil ini dibanjiri wisatawan, khususnya wisatawan domestik dari bergai penjuru Indonesia.

Maklum, fasilitas hiburan di sana cukup lengkap, bahkan beberapa di antaranya belum ada di Bali. Antara lain, menara pemantau (sky tower) yang tingginya mencapai 80 meter. Diiringi alunan musik, pengunjung bisa menikmati pemandangan seantero kota Tenggarong dengan leluasa hanya dengan Rp 7.500. Pulau Kumala juga dilengkapi kereta gantung dan arena permainan anak seperti bom-car.

"Fasilitas hiburan seperti ini mestinya bisa dibangun di Bali," usul Ni Wayan Sritini dari Prakerti Indonesia Wisata, Tours and Travel yang juga menjadi peserta Famtrip Garuda Cabang Denpasar. Sritini lantas mengingatkan kawasan GWK menjadi lokasi yang cukup ideal untuk dibangun sky tower. "Pemandangan Denpasar dan Bali Selatan bisa ter-cover seluruhnya dari menara seperti itu," lanjut Sritini.

Wahana kereta gantung juga dapat kita temukan di Pulau Kumala. Kereta gantung yang panjangnya sekitar 1 kilometer ini terbentang dari Pulau Kumala ke tepian Kota Tenggarong. Dan, untuk anak-anak berbagai permainan seperti bom bom car, arena mobil kecil atau go-car serta kereta mini disediakan untuk menambah ramai suasana. Di Tenggarong juga terdapat hotel kecil berupa resort yang terdiri atas 22 kamar hotel serta 21 cottage.

Pembangunan pariwisata modern yang dilakukan Pemkab Kutai Kertanegara tidak melupakan pariwisata alam.

Bukit Bangkirai yang hutannya masih perawan juga dikembangkan sebagai pariwisata alam. Beraneka pohon baik dalam ukuran besar maupun kecil serta flora dan fauna lainnya terdapat di hutan ini. Seperti ratusan jenis burung pun tampak di hutan seluas 1.500 hektar ini.

Di Bukit Bangkirai ini wisatawan akan merasakan sensasi yang berbeda saat menaiki canobrige atau jembatan di atas pohon yang menjadi andalan daerah ini.

Dalam catatan pariwisata nasional, jembatan ini merupakan jembatan tajuk pertama di Indonesia dan ke-8 di dunia. Bukit Bangkirai diharapkan menjadi penyeimbang pembangunan pariwisata modern di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Untuk melengkapi kepariwisataannya, pemda dan komponen pariwisata setempat juga menggelar event tahunan, seperti Festival Terao. Dalam acara ini dipentaskan berbagai kesenian daerah dari seluruh suku yang ada di wilayah Kutai Kertanegara.

Terao yang dalam bahasa Kutai berarti berkumpul merupakan salah satu acara sebagai wujud rasa syukur masyarakat setempat atas berkah alam yang dianugerahkan Sang Pencipta.

Bagi kita di Bali, selain wisata "duniawi" di atas, bisa juga menjalani wisata spiritual dalam bentuk tirtayatra ke Pura Payogan Agung Kutai. (Tulisan lengkapnya diturunkan di harian ini edisi 8-9 Mei 2007). Pura ini erat kaitannya dengan Kerajaan Hindu pertama di Indonesia, Kutai Kartanegara. Di pura ini rombongan sempat bertegur sapa dengan masa lalu kita sebagai bangsa. Kapan Anda ke sana? (*)