Pura Pucak Geni
 
 
Pura Pucak Geni
Kisah Semut Api Pura Pucak Geni

Sejak ditemukan pertama kali tahun 1906, pura ini selalu padat penangkilan . Tak hanya masyarakat umum, tiada jarang pejabat tinggi bersujud suntuk di hadapan Ida Batara Pura Luhur Pucak Geni. Apa hubungannya dengan semut api?

Sebuah mobil sarat penumpang terlihat menaiki jalan menuju Pura Luhur Pucak Geni, Banjar Seribupati, Desa Cau Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Tiba di halaman paling lura pura, setelah kendaraan berhenti sekelompok orang berbusana adat Bali keluar dari pintu samping. Usai menurunkan sesaji mereka langsung menuju bale pasandekan yang berada di sisi timur jaba tengah. Pohon pule besar nan menjulang tinggi yang digoyang desiran angin, seakan tersenyum girang menyapa orang-orang baru datang itu. “ Ngiring malinggih dumum (silakan duduk dulu),” seorang lelaki tua berbusana serba putih berkata dan disambut anggukan oleh warga tadi.
Selasa Keliwon medio Pebruari lalu, memang banyak orang melakukan panangkilan ke Pura Pucak Geni. “Sudah menjadi tradisi di sini, saat hari rerainan gumi (hari suci jagat), maka orang akan datang. Malah ” urai Jero Mangku Anyar Pura Luhur Pucak Geni, Nyoman Genting. Apalagi saat hari rarainan jagat, Jero Dasaran dan Jero Mangku Anyar mesti bersiap di pura sehari penuh.
Bagi yang tangkil ke tempat suci ini ada beberapa jalur yang bisa dilalui. Jika menempuh jalur barat (jalan raya Denpasar–Bedugul), setelah sampai di Desa Sembung, Kecamatan Mengwi, tepatnya sebelum pasar Sembung berbelok ke kanan menuju Desa Cau Belayu. Tiba di perempatan Cau Belayu belok ke kiri. Kurang lebih 200 meter ada pertigaan menuju jalan ke Banjar Seribupati.
Apabila mengambil jalur timur (jalan raya Denpasar–Petang, Badung), begitu sampai di pasar Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal berbelok ke kiri, mengambil jurusan ke Desa Ayunan (masih wilayah Kecamatan Abiansemal). Tiba di Ayunan lurus ke utara menuju Cau Belayu . Tiba di Cau Belayu cari pertigaan jalan menuju Pura Luhur Pucak Geni di Banjar Seribupati.
Pura Pucak Geni memang kerap dipadati pemeluk Hindu di Bali, sekalipun dari sisi sejarah sejatinya tiada banyak yang bisa terungkapkan. Tinggalan yang ada tak teramat banyak. Hanya ada batu dan pohon pule yang di bagian bawahnya kini ada semacam lubang selalu keluar air, tempat orang-orang umumnya melakukan panglukatan (ruwatan dalam bahasa Jawa).
Entah apa yang menjadi alasan hingga pura ini kerap dikunjungi warga. Dari sudut sejarah, sesuai pengakuan seorang warga Seribupati, Gede Oka Antara mengakui, tiada bukti otentik yang dapat dijadikan tonggak awal pendirian yang hari piodalan jatuh pada Buda Cemeng Kelawu ini.
Kalau toh ada, bukti yang tersiar di masyarakat lebih banyak berdasarkan cerita mitos warisan para moyang Seribupati. Seperti yang cerita yang didapat seorang sesepuh, I Ketut Tantra. Pamangku Pura Dalem Purwa Desa Pakraman Seribupati ini berkisah, bahwa tahun 1906, penguasa Kerajaan Belayu, Kecamatan Marga, I Gusti Gede Oka, sempat datang bersama ratusan abdi dari berbagai desa, seperti warga Desa Jadi, Belayu, Kuwum, Kukuh, dan Telanbawak, ke sebelah timur wilayah kekuasaannya.
Kawasan yang dituju masih berupa hutan perawan yang ditumbuhi semak serta pepohonan besar. Rombongan Kerajaan Belayu tersebut hendak memperluas wilayah tempat tinggal warga yang berada di bawah kekuasaannya.
Bagai kisah perjalanan Rsi Markandeya, Mpu dari Jawa Timur, saat pertama kali mengadakan perabasan hutan di Besakih, kedatangan Raja Belayu bersama pasukan pertama kali ke hutan dimaksud ternyata gagal mengadakan pembabatan hutan. Para pengikutnya tiba-tiba terserang semut api (semut merah) cukup banyak hingga tak sanggup lagi menunaikan tugas-tugasnya. Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, Raja Belayu memerintahkan para warga kembali lagi ke desa masing-masing.
Menyerah? Belum ternyata, penguasa Puri Belayu kembali datang ke alas tadi. Kedatangan yang kedua kali juga disertai pengikut cukup banyak. Di antara pengikut itu bernama I Wayan Ngiring alias Pan Kayun,---Pan Kayun kelak jadi kakek dari Jero Mangku Dalem Purwa.
Sesuai rencana yakni membuka kembali lahan baru, maka perabasan pun dilakukan. Kali ini memang berhasil, tak lagi ada semut merah yang mengganggu.
Tiba di satu tempat yang cukup tinggi para perabas hutan dikejutkan oleh penemuan benda berupa batu yang bertumpuk. Sedangkan di sekitarnya tumbuh pohon andong bang (merah) dan kayu pule cukup besar. Orang-orang yang hadir saat itu, termasuk kakek Jero Mangku Dalem Purwa meyakini lokasi tadi merupakan tempat suci. Mereka tak berani mengganggu. Sebaliknya, di tempat itu kemudian didirikan sanggar agung sebagai tanda tempat suci. Kawasan suci itulah kemudian disebut Pura Hyang Api. Nama Hyang Api muncul, mengingat pertama kali pasukan Belayu datang dan hendak mengadakan perabasan hutan, ternyata diserang semut api.
Pasca perluasan lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, mulailah orang-orang menempati wilayah yang kelak dinamakan Desa Adat Seribupati. Saban waktu mereka hadir ke Pura Hyang Api memohon karahayuan dan keselamatan. “Itulah cerita yang saya tami (wariskan) sampai kini,” lanjut Jero Mangku Tantra.
Setelah mendekati setengah abad, sekitar tahun 1950-an, nama Hyang Api diganti menjadi Pura Luhur Pucak Geni. Pergantian dilakukan berdasarkan atas pamuus Ida Batara yang disampaikan langsung oleh Jero Dasaran.
Mangku Tantra pun warga pangempon Pura Hyang Api yang berasal dari tiga banjar, Banjar Seribupati, Padangaling, dan Babakan, tiada banyak bertanya sehubungan dengan pergantian tersebut. Mengingat semua itu titah dari Ida Batara, maka sejak saat itu nama Hyang Api diganti jadi Pucak Geni. ”Sampai sekarang orang-orang lebih lumrah mengenal pura ini sebagai Pura Luhur Pucak Geni,” Mangku Tantra mempertegas.
Nama boleh berganti, toh itu tak menyurutkan bakti warga yang tangkil ke pura bersatus dangkahyangan ini—status dangkahyangan disematkan pada Pura Luhur Pucak Geni karena pangempon lebih dari satu banjar dan yang datang tangkil juga dari berbagai daerah di Bali—tiada pernah surut. Lebih-lebih pada hari rarainan gumi (hari suci jagat), seperti Keliwon, Purnama, Tilem, dan hari suci lain, masyarakat Hindu seakan berlomba mendatangi tempat ini.
Ditambah lagi pada saat tertentu, menjelang suksesi kepemimpinan atau kegiatan pemilu misalkan, tak jarang pamangku dan pangayah mesti rela begadang hingga larut malam. Menunggu mereka yang hendak tangkil di malam hari. “Beberapa palinggih di pura ini juga ada disumbangkan oleh petinggi di daerah ini,” Pamangku Anyar Pura Pucak Geni, I Nyoman Genting menambahkan.
Rohaniwan ini tiada tahu pasti apakah persembahan tersebut sebagai wujud tanda bakti atas berkah yang diterima atau ada tujuan lain, membayar kaul setelah sukses meraih yang diinginkan, misalkan. Namun, dia tetap berpikiran positif, bahwa segala yang dihaturkan ke pura itu berdasarkan ketulusan.
Lumrahnya tempat suci di Bali, Pura Luhur Puncak Geni juga terbagi dalam tiga mandala (bagian). Di areal jaba (paling luar) sehari-hari dimanfaatkan untuk parkir bagi pamedek (warga yang hendak pergi ke pura). Ketika upacara besar banyak dibangun rompok oleh para pedagang.
Pada jaba tengah ada beberapa palinggih. Di ujung timur laut tepatnya di bawah pohon pule terdapat padmasana sebagai stana Ratu Gede Jaksa yang diyakini warga sebagai penjaga di pura luhur ini. Bagi orang-orang yang hendak sembahyang, sebelumnya mesti melapor di palinggih ini. Pun saat hendak berpamitan juga mohon diri dari Ida Ratu Gede Jaksa.
Sedangkan di pohon pule berstana Ratu Gede Siwa Sangkara. Kemudian ada palinggih apit lawang yang di sebelah Barat (kanan) sebagai stana Mahakala dan di kiri (timur) stana Adikala. Di kori agung merupakan stana Sanghyang Kala. ”Pohon pule ini juga sering dimohon warga dari beberapa desa untuk dijadikan punggalan atau prarai (kepala) dari sasuhunan barong atau rangda,” sebut Jero Mangku Tantra. Sebagai bentuk rasa ikatan dengan Ida Batara di Pura Pucak Geni, bagi warga desa yang memohon kayu pule untuk barong, maka pada upacara setahun sekali, pada Buda Cemeng Kelawu, umumnya warga dari desa bersangkutan akan ke tempat suci ini.
Berikutnya, di areal jeroan (paling dalam) palinggih berderet dari timur hingga ke utara. Pada deret timur, paling ujung selatan ada palinggih sebagai stana Ratu Ngurah, di utarabnya ada gedong tempat menstanakan lingga yoni.
Lingga yoni atau dalam bahasa sederhana masyarakat Bali kuno disebut pula dengan nama celak kontol lugeng luwih , tiada lain merupakan simbol dari kesuburan. Dari simbol inilah diharapkan tercipta kesejahteraan, kesuksesan di masyarakat.
Di sebelah palinggih Lingga Yoni terdapat meru tumpang (tingkat) lima yang menjadi stana penguasa atau palinggih pusat dari pura ini, yakni Ida Ratu Luhur Pucak Geni.
Di samping palinggih tadi, pada deret utara ada meru tingkat tujuh tempat pangayatan (perwakilan) Ida Batara di Pura Pucak Padangdawa, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Di baratnya terdapat gedong stana Ratu Mas Lingsir. Di sinilah orang yang mengalami sakit akan memohon kesembuhan.

I Wayan Sucipta.