Pura Sakenan
 
 
  Tempat Memohon Keselamatan Umat Manusia di Dunia
  Upacara pujawali di Pura Sakenan dilaksanakan setiap enam bulan sekali setiap Sabtu Kliwon, Wuku Kuningan yang disebut juga Tumpek Kuningan. Pujawali yang sudah biasa dilaksanakan berupa meraramen, padudusan alit, dan padudusan agung. Besar-kecilnya pujawali sesuai dengan keputusan rapat (paruman). Seperti apakah sejarah Pura Sakenan itu? Dan, makna apa yang bisa dipetik dari pendirian Pura Sakenan itu?
 

Berdasarkan Purana Pura Sakenan yang disusun oleh Tim Dinas Kebudayaan Bali, bahwa di Pura Sakenan ini dulu sebagai tempat krama subak mohon berkah Tuhan. Di mana, Pura Sakenan tempat mereka memohon kesejahteraan hidup. Memohon agar segala macam penyakit yang merusak tanaman di sawah atau ladang agar dilenyapkan. Disebutkan dalam purana itu bahwa Hyang Sakenan menjaga walang sangit dan Hyang Masceti menjaga tikus agar tidak merusak sawah dan ladang petani. Dan, ini harus diingat.

Bagaimana dengan sekarang? Sawah dan ladang petani di sekitar wilayah Sakenan tidak berfungsi lagi. Yang berkembang justru pariwisatanya. Yang menjadi sawah dan ladang penduduk di sana pariwisatanya dengan mengembangkan wisata bahari. Karena itu, para pelaku pariwisata diharapkan memohon kesejahteraan hidup di Pura Sakenan, agar objek-objek wisata seperti Sanur, Kuta, Nusa Dua, dan Denpasar bisa aman.

Jika pelaku wisata memohon kesejahteraan dengan tulus, niscaya tidak ada lagi kelompok teroris yang mengacaukan pariwisata Bali. Kelompok teroris itulah kini diibaratkan walang sangit dan tikus-tikus di sawah. Oleh karena itu, hanya memohon kepada-Nya niscaya ''tikus-tikus'' tidak mengganggu pariwisata Bali. Sudahkah hal itu dilakukan? Jawabannya pada umat.

Sejak zaman dulu Hyang Maharesi Markandya membangun serta menata keberadaan desa-desa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan permohonan kesejahteraan hidup itu, menyebabkan segala jenis tumbuhan yang ditanam, baik yang ditanam di tegalan maupun sawah semuanya tumbuh dengan subur. Itulah yang menyebabkan para pengikut beliau sangat taat dan sama-sama menciptakan kesejahteraan, semuanya bersatu dan hormat kepada Sang Dwijaswara. Oleh karena demikian asal-usulnya Sakenan itu, maka disebut juga Sad Kahyangan. Dibolehkan menggunakan candi bentar dan candi kurung. Adapun pakelem/padagingan candi kurung di puncak dan di dasarnya. Sarananya emas mirah dan selaka. Sementara sesuaran/tulisan pada pripihan-nya.

Saat beliau mengawali membangun Pura Sakenan, berdasarkan ketentuan patut diaturkan saji hyasan, segehan agung selengkapnya. Patut miasa 21 kali. Itulah yang patut diketahui bila membangun bangunan untuk Batara Sakenan. Bila dilanggar menyebabkan kacau seluruh negara (jagat). Oleh karena itu, tak boleh sembarangan membangun pelinggih. Sebab, orang-orang suci membangun tempat suci, bentuk bangunan, dan perlengkapannya berdasarkan hasil meditasi.

Ada juga disebutkan, Pura Sakenan termasuk salah satu Sad Kretiloka. Disebut sebagai simbol dari Sad Darsana. Disebut Sad Kretih yaitu Atma Kretih, Samudra Kretih, Wana Kretih, Jagat Kretih dan Jana Kretih.

Pura Sakenan sendiri disebut Samudra Kretih. Sakenan itu sebagai tempat pemujaan Ida Hyang Dewa Biswarna atau Baruna. Beliau benar-benar sebagai penjaga Segara Pakretih (ketenangan lautan/samudera) untuk keselamatan dunia, menghilangkan segala jenis rintangan di dunia, dan segala jenis penyakit dan menyucikan segala jenis kala, bhuta dan manusia, dan berbagai jenis penyakit. Demikianlah yang disebutkan di dalam sastra. Oleh karena itu, bagi umat Hindu janganlah melanggarnya.

Pura Sakenan adalah tempat yang sangat suci dan tempat memohon keselamatan seluruh dunia. Tempat pemujaan beliau didirikan di tepi laut selatan di wilayah Desa Serangan. Bangunan suci parahyangan itu dinamakan Parahyangan Dalem Sakenan (Pura Dalem Sakenan) sebagai tempat berstananya Hyang Sandhijaya. Mengapa dinamakan Dalem Sakenan? Karena memang titah dari Batara yang memberikan petunjuk pada saat beliau memilih pulau-pulau kecil di laut selatan. Di tempat itulah dibangun Pura Sakenan karena sebagai perintah melalui suara-suara gaib (sabda) Ida Batara.

Pura Dalem Sakenan merupakan stana Hyang Sandhijaya juga disebut Tatmajuja, selalu menjaga ketenangan lautan (segara pakreti), penyelamat dunia dam merayascita segala macam kala bhuta, manusia dan segala jenis penyakit, menghilangkan segala jenis bencana di dunia.

Sejarah Pura Sakenan juga tak bisa lepas dari perjalanan orang-orang suci seperti Danghyang Nirarta, Empu Kuturan, dll. Dulu, pada saat pembangunan Candi Sekar Kancing Gelung, orang-orang yang ada di Serangan dan di sekitarnya dengan semangat untuk ngaturang ayah. Mereka bersatu dan semuanya memohon kesejahteraan hidup. Adapun orang yang ada di sekitar Serangan saat itu antara lain berasal dari Intaran, Suwung, Kepaon, Pemogan, Kelan, Jimbaran, Panjer, Dukuh Siran dan banyak lagi.

Pura Sakenan berkonsep swamandala terdiri atas pelinggih-pelinggih dan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya. Pura Sakenan terdiri atas dua pelebah yaitu Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan/Penataran Agung Sakenan.

Pura Sakenan mempunyai tiga halaman (trimandala): utama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Masing-masing halamam dibatasi oleh tembok keliling lengkap dengan kori agung, apit lawang dan bebetelan. Pada puncak kori agung dipahatkan hiasan kepala kala. Di dalam utama mandala terdapat sejumlah pelinggih seperti candi, bale tajuk, bale pesandekan, dan apit lawang.

Di depan Candi Kurung yang menghubungkan utama mandala dan madya mandala terdapat dua buah arca Ganesha yang mengapit Candi Kurung. Madya mandala ini seluruhnya dikelilingi oleh tembok penyengker lengkap dengan Candi Bentar pada sisi sebelah baratnya dan petetesan pada sisi utara dan timurnya. Di nista mandala hanya berupa halaman kosong.

Bangunan pelinggih yang ada di utama mandala yakni bebatuan berupa Padma Capah stana Ida Batara Masjati, juga sebagai pemujaan Jro Dukuh Sakti. Meru Tumpang Tiga stana Batara Batur, Intaran, Ida Batara Muter. Gedong Jati stana Ida Ratu Ayu, Gedong (Tajuk) stana Batara Buitan dan Batara Muntur. Ada pula bale gede atau bale paruman fungsinya sebagai tempat pesamuan para pemangku, dan juga tempat penyucian pratima Ida Batara dan tempat para sulinggih dan para raja pada saat ada upacara pujawali.

Diceritakan bahwa keturunan Ida Batara Sakti Pemecutan yang bertahta di Puri Pemecutan, semuanya sudah mendapat kedudukan dan sekaligus mendapat tugas menjadi penganceng, pengempon yang berada di wilayah Kerajaan Badung. Puri Agung Kesiman ditugasi sebagai pengempon Pura Sakenan, Puri Oka Denpasar pengempon Pura Susunan Wadon dan Pura Batu Tegeh. Puri Agung Jro Kuta pengempon Pura Uluwatu, Puri Kaler Kawan pengempon Pura Geger dan Pura Pucak Tedung, Puri Denpasar pengempon Pura-pura lainnya yang ada di wilayah Jembrana dan Bukit dan Puri Langon pengempon Pura Peti Tenget. Maka mulai saat itu Puri Agung Kesiman menjadi penganceng/pengempon Pura Sakenan sampai sekarang. (sut)

 

Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli.

Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M).

Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; "...sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau."

Lalu disebutkan lagi, "Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara."

Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana.

Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir.

Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang.

Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon -- sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan -- pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Padmasana.

Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana -- penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon.

Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha.