|
|
|
|
|
1. Pura Desa |
Pura ini disebut dengan
nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan
di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari
catuspata (perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan
dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana
r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila
menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi
niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan
ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam.
Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya
pengaruh yang datang dari empat buah slam yang
ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat
dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah
jalan simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali
selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur
desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya
seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan,
diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan
tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata
dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura
Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut
dari catus pata.
Pura Desa menjadi tempat pusat
kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan
desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan
batara setelah upacara melis yang dilaksanakan
sebelum upacara Panyepian. Pada beberapa daerah
di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama
Pura Bale Agung. Nama ini kemungkinan diambil
dari nama bangunan Bale Agung yang terdapat
pada bagian halaman pertama dari pura tersebut.
Pura Desa mempunyai denah
yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lebih
umum denah pertama dan kedua digabung menjadi
satu, sehingga tampak mempunyai dua denah yaitu
: Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba jeroan
(halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan
tembok dengan pintu masuk yang disebut candi
bentar dan kori agung. Masing-masing halaman
tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan
fungsi yang berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan
yang ada di halaman pertama dan kedua dari Pura
Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan
ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang
harus ada pada setiap pura Kahyangan Tiga. Sebagai
pedoman pendirian bangunan tersebut diambil
dari hasil seminar kesatuan
tafsir aspek-aspek agama Hindu yang pertama
yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun
1974.
Bangunan-bangunan minimal
yang ada pada halaman pertama adalah sebagai
berikut:
Candi Bentar. |
Bentuknya belah
dua yang berfungsi untuk pintu masuk
ke halaman pertama dari pura. Untuk
memasuki halaman kedua (jeroan pura)
melalui candi kurung atau kori agung
dengan berbagai macam bentuk variasi
dan hiasannya. |
Bale Kulkul. |
Letaknya di sudut
depan dari halaman pertama. Bentuk bangunannya
dibuat tinggi sebagai menara dengan
kulkul atau kentongan yang bergantung
di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan
dengan pelaksanaan upacara seperti ketika
nedunang batara dan ketika
nyimpen. Fungsi yang lain adalah
sebagai tanda bahwa pertemuan antara
krama pura akan segera dimulai yang
membicarakan berbagai masalah tentang
pura seperti : persiapan piodalan, rencana
perbaikan pura dan lain-lainnya. |
Bale Agung. |
Bangunan berbentuk
bale panjang dengan dasar bangunannya
yang agak tinggi dan atapnya disangga
beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat pasamuhan (pertemuan)
para batara ketika berlangsung upacara
ngusaba dan setelah upacara mekiyis
(upacara penyucian pratima dari batara). |
Bale Gong. |
Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat gamelan, yang ditabuh
ketika upacara piodalan berlangsung
untuk menunjang jalannya upacara di
pura.
|
Sedangkan Bangunan yang terdapat pada halaman
kedua (jeroan) dari Pura Desa adalah:
Sanggar Agung. |
Bangunan ini disebut
Pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya
pada bagian arah hulu dari denah jeroan
pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka,
yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/
Hyang Widi. |
Gedong Agung. |
Bangunannya berbentuk
gegedongan yang dibagi atas tiga bagian
yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan
tembok keliling pada keempat sisi, sehingga
pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan.
Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu
pada bagian sisi depan dari gedong. Bagian
atap dari gedong dibuat bersusun dengan
atap dari ijuk. Bangunan ini berfungsi
sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud
pratima dan tidak memakai laksana (ciri)
Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni
arca.
Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan,
berwajah empat yang menghadap ke semua
arah mata angin, bertangan empat yang
masing-masing memegang tasbih, cemara,
kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti
dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati
dengan wahana angsa. |
Ratu Ketut Petung |
Bangunan berbentuk
gedong berfungsi sebagai tempat pepatih
atau pendamping dari Dewa yang berstana
di pura tersebut. |
Ratu Ngerurah |
Bangunan dibuat berbentuk
tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan
bertanggungjawab atas keamanan dari pura. |
DENAH PURA DESA |
|
|
Keterangan Denah
1 |
Gedong Agung. |
2 |
Sedahan Penglurah. |
3 |
Ratu Ketut Petung. |
4 |
Sanggar Agung. |
5 |
Bale Pawedan. |
6 |
Pengaruman. |
7 |
Kuri Agung. |
8 |
Apit Lawang. |
9 |
Bale Agung |
10 |
Bale Gong. |
11 |
Bale Kulkul. |
12 |
Candi Bentar |
|
|
2 Pura Puseh. |
Kata Puseh adalah berasal
dari kata puser yang berarti pusat. Kata pusat
di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan
dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan
bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara
yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan
di Puseh.
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara
dari ciptaan Hyang Widi dalam seni arca digambarkan
dengan laksana atau ciri bertangan empat yang
masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah
atau kuncup teratai. Wahana adalah Garuda, sedangkan
saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi Kebahagiaan).
Mengenai denah dari Pura Puseh
dapat dibagi atas dua bagian sebagaimana denah
dari Pura Desa. Pembagian atas dua bagian tersebut
adalah: halaman pertama atau disebut dengan
jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan
dari pura.
Pada halaman pertama terdapat
beberapa buah bangunan, seperti candi bentar,
bale kulkul, pawaregan, bale gong, apit lawang
dan candi kurung.
Mengenai fungsi dari bangunan-bangunan
tersebut di atas adalah sama dengan bangunan-bangunan
yang terdapat pada halaman pertama dari Pura
Desa.
Pada halaman kedua atau jeroan
pura terdapat pula beberapa buah bangunan dengan
fungsinya masing-masing seperti:
Sanggar Agung: |
Bangunan suci ini
pada bagian puncaknya terbuka yang berfungsi
sebagai tempat memuja Hyang Raditya/ Hyang
Widi Wasa. Pada bagian puncaknya dibuat
terbuka karena Hyang Widi tidak terbatas,
memenuhi alam semesta. |
Meru Tumpang
Lima atau Tujuh
atau Sebelas. |
Bangunan meru ini
berfungsi sebagai stana Dewa Wisnu yang
dipuja di Puseh. Di sini menjadi tanda
tanya kenapa meru, dipakai sebagai stana
Dewa Wisnu dan kenapa tidak Gedong sebagai
di Pura Desa dan Dalem. Mengenai hal ini
belum diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan
karena Meru adalah lambang gunung yaitu
Gunung Mahameru sebagai stana para Dewa.
Gunung dengan hutannya adalah merupakan
sumber mata air yang nantinya mengalir
menjadi sungai-sungai. Air inilah yang
memberikan kesejahteraan atau Amerta kepada
umat manusia. |
Ratu Made Jelawung. |
Bangunannya berbentuk
gedong, berfungsi sebagai tempat pepatih
(pendamping) dari Dewa yang berstana di
Meru. |
Sedahan Pengrurah. |
Bangunan ini berbentuk
tugu dengan fungsi sebagai penjaga keselamatan
dan keamanan dari pura. |
Gedong Pertiwi. |
Bangunan ini berfungsi
sebagai stana dari Ibu Pertiwi. |
Batur Sari. |
Bangunan ini berfungsi
sebagai stana dari Dewi Danuh yang berkaitan
dengan kesuburan. |
Denah Pura Puseh. |
|
|
Keterangan:
1 |
Meru. |
2 |
Sedahan Penglurah |
3 |
Ratu Made Jelawung. |
4 |
Sanggar Agung. |
5 |
Gedong Pertiwi. |
6 |
Batur Sari |
7 |
Pengaruman |
8 |
Bale Pawedan |
9 |
Kuri Agung |
10 |
Apit Lawang |
11 |
Bale Gong |
12 |
Pawaregan |
13 |
Bale Kulkul |
14 |
Candi Bentar. |
|
|
3. Pura Dalem |
Kata Dalem secara harafiah
berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian
karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit
dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala,
wyapi-wyapaka.
Sakti dari Dewa Siwa adalah
Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan
mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa
yang berfungsi mempralina alam ciptaan Tuhan.
Dalam seni arca Siwa diwujudkan
dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi
yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa
sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan
saktinya adalah Dewi Durga.
Siwa sebagai Mahadewa laksana
atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu
lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak
yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di
dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing
memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula.
Siwa sebagai guru atau di
Bali disebut Batara Guru laksananya adalah kamandalu,
Trisula, perutnya gendut berkumis dan berjanggut
panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya
menakutkan seperti: raksasa, bersenjatakan gada.
Durga sebagai saktinya Siwa
dilukiskan sebagai Mahisasuramardini ini. la
berdiri di atas seekor lembu yang ditaklukkan.
Lembu ini adalah penjelmaan raksasa (asura)
yang menyerang Kahyangan dan dibasmi oleh Durga,
Durga digambarkan bertangan 8,10 atau 12, masing-masing
tangannya memegang senjata.
Arca Durga yang terkenal dari
Bali adalah Durgamahisasuramardini dari Pura
Bukit Dharma Mesa Kutri Gianyar. Arca ini adalah
arca perwujudan dari Gunapriya Darmapatni Ibunda
dari Airlangga. Laksana dari arca ini adalah
bertangan delapan tetapi yang tinggal utuh hanya
enam buah, tangan kanan masing-masing memegang
cakra, anak panah, kapak, sedang tangan kirinya
masing - masing memegang kerang bersayap, busur
dan tameng.
Putra dari Dewa Siwa adalah
Ganesa yang digambarkan berkepala gajah dengan
empat buah tangan, yang masing-masing memegang
mangkuk, patahan gading, aksamala (tasbih dengan
50, 81, atau 108 butir manik) dan kapak. Ganesa
disembah sebagai Dewa penyelamat dari segala
rintangan dan juga sebagai Dewa ilmu pengetahuan.
Mengenai Denah dari Pura Dalem
pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian
yaitu: Jabaan (halaman pertama) dan Jeroan (halaman
kedua). Masing-masing halaman tersebut disertai
dengan bangunan-bangunan dengan fungsinya masing-masing.
Bangunan-bangunan yang didirikan di halaman
pertama adalah hampir sama dengan bangunan-bangunan
yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman
pertama Pura Dalem tidak terdapat Bale Agung.
Beberapa bangunan di halaman pertama adalah
candi bentar, bale kulkul, bale gong, pawaregan,
apit lawang, candi kurung (paduraksa).
Pada halaman kedua yang merupakan
halaman yang tersuci, terdapat beberapa jenis
bangunan dengan fungsinya masing-masing, seperti
:
Sanggar Agung. |
Bangunan suci ini
ditempatkan pada bagian arah Timur Laut
(kaja kangin) dari denah halaman kedua.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat
pemujaan Hyang Raditya (Tuhan Yang Maha
Esa). |
Gedong Agung. |
Bangunan ini berbentuk
gegedongan dengan memakai atap dari ijuk.
Pada bagian badan dari gedong terdapat
ruangan yang berfungsi sebagai tempat
pratima (Arca) dari Dewa. Gedong Agung
berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa
Siwa dalam wujud sebagai Dewi Durga yaitu
Sakti dari Dewa Siwa. |
Ratu Ketut Petung. |
Bangunannya berbentuk
gedong tetapi ukurannya lebih kecil dari
gedong bata. Bangunan ini mempunyai fungsi
sebagai tempat dari pepatih (pendamping)
dari Dewa. |
Ratu Ngerurah. |
Bangunannya berbentuk
tugu, hanya bagian atas terbuat dari konstruksi
batu padas, sedangkan kalau gedong bagian
kepala dari bangunan terbuat dari konstruksi
kayu dengan atap alang-alang atau ijuk.
Bangunan ini berfungsi sebagai penjaga
dan bertanggungjawab atas keamanan dari
pura. |
Denah Pura Dalem |
|
|
1 |
Gedong Agung |
2 |
Ratu Ngerurah |
3 |
Ratu Ketut Petung |
4 |
Sanggar Agung |
5 |
Bale Pawedan |
6 |
Pengaruman |
7 |
Kuri Agung |
8 |
Apit Lawang |
9 |
Bale Pasandekan |
10 |
Bale Gong |
11 |
Bale Kulkul |
12 |
Pwaregan |
13 |
Candi Bentar |
|
|
Upacara. |
Pura yang termasuk kelompok
Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari
piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari
ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui
hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian
biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan
petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah
berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat
awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat
lahir atau kelahiran.
Waktu pelaksanaan hari piodalan
pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap
enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang
dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan
dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya
yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara
atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata
jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata
ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan
kepada Hyang Widi dan manifestasinya.
Pelaksanaan upacara di Pura
Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada
hari-hari tertentu, seperti upacara flap bulan
sekali yang disebut rerainan yang jatuh harinya
sesuai dengan hari piodalan dan juga setiap
hari Purnama dan tilem. Upacara yang diadakan
berkala setiap 210 hari disebut hari piodalan
dengan upacara yang lebih besar dari rerainan.
Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah
karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya.
Pada umumnya tiap-tiap pura
Kahyangan Tiga mempunyai kekayaan khusus yang
disebut laba pura atau kalau di Jawa pada jaman
Hindu disebut tanah perdikan dari suatu Candi.
Laba Pura biasanya dalam bentuk tanah yang luasnya
tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil
dari penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan
biaya upacara rerainan, piodalan dan juga untuk
biaya memperbaiki kerusakan dari bangunan-bangunan
yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang
bertanggungjawab atas penyelenggaraan suatu
pura disebut: Krama pura.
Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang
Widi dan Batara Batari, ketika upacara piodalan
masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut
banten piodalan dan banten perseorangan dari
anggota krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan
atas beberapa jenis seperti banten sor, catur
dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan
tergantung pada kemampuan dari para krama pura.
Selain menghaturkan sesajen ketika upacara piodalan
berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan
tari - tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang
dipentaskan adalah; tari Sanghyang, pendet,
berbagai jenis baris. Tujuan dari pementasan
tarian ini adalah untuk menyambut kedatangan
kekuatan suci di mana pada saat ini masyarakat
akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan
bagi warganya. Karena itu sering dikatakan,
munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada mulanya
adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan
baru kemudian berkembang menjadi seni kemasyarakatan
yang ditandai munculnya kreasi- kreasi baru
dalam seni taxi di Bali.
Upacara piodalan dan jenis-jenis
upacara berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan
oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang
disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh
seorang pemangku dari pura itu sendiri. Untuk
desa-desa kuna upacara diselesaikan oleh seorang
jero Gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta
memuja, para krama pura sudah siap di halaman
dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai
memuja maka pendeta menuntun jalannya persembahyangan
hingga selesai.
Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada
masing-masing pura dari Kahyangan Tiga adalah
berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja
Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stawa
dan di Pura Dalem mempergunakan Durga Stawa.
Sebagai contoh dikutipkan Brahma stawa sebagai
berikut:
Om
Ang Brahma namas catur-mukham Brahmagni
rakta-varnan ca shpatika varna dewata,
sarva bhusana raktakam.
Danda antra maha tiksna, atma raksa
nabhi-sthana, adyageni surya sphatika,
sarva satru vinasanam. |
Terjemahan |
Hyang
Widi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai
empat muka, Brahma adalah Agni, dengan
warna merah, Dewa yang berwarna berkilauan,
mempunyai hiasan serba merah. Mempunyai
senjata bernama gada yang amat sakti,
menjaga atma yang berada di nabi, awal
dari api, surya dengan cahaya berkilauan
menghancurkan semua musuh-musuh. |
Untuk pemujaan kepada Dewa
Wisnu di Pura Puseh, pendeta mempergunakan Wisnu
stawa, kutipannya sebagai berikut:
Om
Ung namo Wisnu tri mukhanam, trinayanam
Catur-bhujam, krsna varnam sphatikantam,
sarva bhusana kresnam, Cakra astra mahatiksnam,
atma raksam ampru sthanam, amrtah jivano
devah, sarva satru vinasanam. |
Terjemahan: |
Hyang
Widi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga
mata dan empat tangan, warna hitam yang
berkilauan, semua hiasan hitam. Senjata
cakra yang amat tajam, melindungi atma,
yang tinggal di hati, dewa memberikan
kehidupan, semua musuh dihancurkan. |
Puja atau stawa yang dipergunakan
oleh pendeta di Pura Dalem disebut Durga stawa
dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai
berikut :
-
Om Giri - putri
deva-devi, lokasraya mahadewi Uma
Gangga Saraswati Gayatri Vaisnawi
Dewi.
-
Catur Divya mahasakti,
catur asrama Batari Siva jagat pati
devi, Durga Masayrira dewi.
-
Sarva jagat pranamyanam
jagad vighna vimurcanam Durga bhucara
moksanam sarva duhka vimoksanam.
-
Anugraha amerta
bhumi vighna dosa vinasanam sarva
papa vinasanam sarva pataka nasanam.
-
Om Deva-devi
maha jnanam suddha vighna bhv esvari
sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam.
|
Terjemahan |
-
Hyang Widi Dewa-Dewi,
Giri Putri yang melindungi dunia
Dewi Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri,
dan sakti Dewa Wisnu.
-
Empat kekuatan
Maha sakti dan Batari dipuja dalam
empat lingkungan hidup Sakti dari
Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga
yang berbadan Dewi.
-
Dia dihormati
oleh seluruh dunia, mempunyai kekuatan
menghilangkan rintangan dunia Dewi
Durga mendatangkan keselamatan dari
gangguan para danawa yang membawa
kebebasan dari rintangan dan kesalahan.
-
Dia memberi karunia,
air kehidupan untuk dunia, menghancurkan
segala rintangan dan dosa-dosa.
-
Dewi dari Dewa
sebagai kebebasan yang maha besar,
Dewi dari dunia yang menghilangkan
penderitaan. Menolong seluruh dunia,
dan menyatu dengan dewa-dewa yang
lain serta memberi karunia.
|
Sekian, semoga bermanfaat.
|
|
|
|
|
|
1 |
Ardana, I Gusti Gede |
|
|
|
1982/1983 |
: |
Inventarisasi Aspek-aspek nilai Budaya Bali,
Proyek Bantuan Sosial. |
|
1974 |
: |
Unsur-unsur Kepercayaan Megalitik Dalam Kebudayaan
Bali, Denpasar. |
|
|
|
|
2 |
Gelebet, Nyoman |
: |
Arsitektur Tradisional Bali, Dep. P dan K 1986
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah. |
|
|
|
|
3 |
Gora, Sirikan: |
|
|
|
1956 |
: |
Sejarah Bali. Gianyar |
|
|
|
|
4 |
Parisada Hindu Dharma Pusat |
|
|
|
1985 – 1986 |
: |
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu |
|
|
|
|
5 |
Putra Kemenuh, Ida Pedanda |
|
|
|
1975 |
: |
Arti dan Fungsi Palinggih-Palinggih, Seminar
I Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu di Amlapura. |
|
|
|
|
6 |
Soeka, Gde |
|
|
|
:1986 |
: |
Tri Murthi Tattwa, CV Kayumas |
|
|
|
|
7 |
Sugriwa, I Gusti Bagus |
|
|
|
1975 |
: |
Pemargan Empu Beradah. |
|
1975 |
: |
Bali Aga. |
|
|
|
|
8 |
Warna, I Wayan dkk.: |
|
|
|
1986 |
: |
Usana Bali Usana Jawa, Teks dan Terjemahan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. |
|
|
|
|
9 |
Wahyono Marto Wikrido |
|
|
|
1975: |
: |
Trimurti, Direktorat Museum Dit Jen Kebudayaan. |
|
|
|
|
Judul:
PURA KAHYANGAN TIGA
Disusun oleh: Prof. Drs. I Gusti Gde Ardana
Milik Pemerintah Daerah Tingkat I Bali
Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama
Tersebar di 9 (sembilan) Daerah Tingkat II
Tahun 1999/2000 |
|
SAMBUTAN
PHDI PUSAT |
Om Swastyastu,
Buku yang berjudul Kahyangan
Tiga ini adalah salah satu buku bacaan yang
baik dibaca oleh umat Hindu di Indonesia pada
umumnya dan di Bali pada khususnya. Buku ini
baik sekali untuk menambah dan memperluas pemahaman
umat Hindu akan arti dan makna Kahyangan Tiga
untuk meningkatkan mutu rohani umat.
Kahyangan Tiga di samping
berfungsi sebagai tempat memuja manifestasi
Ida Sang Hyang Widi sebagai Dewa Brahma, Dewa
Wisnu dan Dewa Siwa jugs berfungsi sebagai pemersatu
umat Hindu di tingkat Desa Pakraman.
Kami dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
menyambut baik terbitnya buku ini sebagai bahan
bacaan umat Hindu untuk mengisi pembangunan
di bidang mental spiritual.
Om Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Ketua I
|
SAMBUTAN
KEPALA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN AGAMA PROPINSI
BALI |
Om Swastyastu,
Kami angayubagia atas diterbitkannya
buku Kahyangan Tiga ini, sebab selama ini belum
satu buku pun yang menguraikan secara khusus
tempat pemujaan ( buku Kahyangan Tiga ) tersebut.
Sebagai telah dimaklumi bahwa
pemujaan melalui Kahyangan Tiga ini ditujukan
kepada Sang Hyang Tri Murti ( Brahma, Wisnu,
Siwa) yang tidak lain adalah Sang Hyang Widi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam kitab suci Weda pemujaan
kepada Dewa-dewa Tri Murti tidak demikian menonjol.
Dewa-dewa yang dominan dipuja dalam Weda adalah:
Agni, Indra, Bayu dan Surya. Pada jaman Purana,
dewa-dewa di atas diambil alih melalui pemujaan
dewa-dewa Tri Murti. Dewa Agni digantikan oleh
Dewa Brahma. Dewa Indra dan Bayu digantikan
dengan pemujaan kepada dewa Wisnu, sedang Dewa
Surya digantikan dengan pemujaan kepada Dewa
Siwa. Pemujaan kepada dewa-dewa Tri Murti ini
yang bermula pada jaman Purana kita warisi sampai
kini. Memang dalam agama Hindu Tuhan Yang Maha
Esa disebut dengan ribuan nama (Brahma Sahasranama).
Penamaan yang banyak ini bahkan dalam bahasa
lokal penganut agama Hindu, Tuhan Yang Maha
Esa itu disebut dalam bahasa tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa
Tuhan Yang Maha Esa mudah dihayati oleh pemeluknya,
dan Tuhan sangat dirasakan dekat dengan penyembahnya.
Pemujaan kepada Sang Hyang Tri Murti melalui
Kahyangan Tiga ini merupakan landasan desa Sukrtagama
yakni desa sejahtera bernafaskan ajaran agama
yang lebih populer dengan nama desa Adat di
Bali. Desa Adat di Bali dengan Trihita Karana
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat
melalui hubungan yang harmonis antara manusia
dengan Sang Hyang Widi, manusia dengan sesamanya
dan manusia dengan alam ciptaan-Nya.
Semoga dengan penerbitan buku
ini cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dapat segera diwujudkan.
Om, Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali
KEPALA
|
SAMBUTAN GUBERNUR
BALI |
Om Swastyastu,
Pertama-tama marilah kita
bersama-sama memanjatkan puji dan sukur ke hadapan
Ida Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena
atas perkenan-Nya telah berhasil disusun buku
agama berjudul Pura Kahyangan Tiga.
Dengan materi yang disajikan
dalam buku mengenai Kahyangan Tiga diharapkan
akan dapat memberikan pengertian, sejarah dan
fungsi dari Pura Kahyangan Tiga sebagai manifestasi
pemujaan kepada Ida Hyang Widi Wasa.
Kita menyadari bahwa pembinaan
di bidang agama sangat perlu diberikan sedini
mungkin dan dihayati di dalam kita melaksanakan
pembinaan bidang mental rohani.
Sehingga sebagai umat beragama
kita mempunyai pedoman/dasar berpijak di dalam
melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Karena dengan dasar berpijak yang kokoh dalam
melaksanakan ajaran agama kita akan bisa menjadi
manusia yang takwa kepada kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa.
Demikian lah sambutan singkat
saya dalam penerbitan buku Pura Kahyangan Tiga
ini, semoga Ida Hyang Widi Wasa senantiasa memberikan
bimbingan kepada kita sekalian di dalam kita
melanjutkan tugas-tugas pembangunan.
Om Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI |
|
|
|
|
KATA
PENGANTAR |
Om Swastyastu
Kami merasa sangat berbahagia
dapat mempersembahkan kitab Pura Kahyangan Tiga
kepada masyarakat khususnya umat Hindu, semoga
dapat merupakan bahan bacaan bagi mereka yang
ingin mengetahui masalah seluk-beluk Kahyangan
Tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem).
Pura ini mempunyai peranan
yang penting bagi kehidupan keagamaan masyarakat
Bali karena merupakan salah satu unsur dari
Trihita Karana yaitu unsur parhyangan.
Buku yang sederhana ini diharapkan
dapat mencegah adanya kesimpangsiuran informasi
mengenai Kahyangan Tiga dan dapat membantu mereka
yang ingin mendalami masalah Pura secara umum.
Berhasilnya usaha ini berkat bantuan dan Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali yang menyediakan dana
untuk penelitian dan penerbitan.
Kami menyadari bahwa buku
ini belum sempurna sekali, masih perlu dilengkapi
materi yang ada di dalamnya berdasarkan penelitian
yang lebih mendalam. Harapan kami terbitan ini
ada manfaatnya.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Denpasar, 1 Februari 1989
Penyusun.
ttd
(I Gusti Gde Ardana)
|
|
|
|
|
|