Pura Selukat
 
 
PURA SELUKAT
Pura Selukat terletak di Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar, sekitar 15 Km dari Denpasar. Pura ini merupakan tempat bagi masyarakat Bali untuk memohon air suci untuk pembersihan. Alkisah pada zaman dahulu terdapat seorang pendeta sakti di tempat ini. Pendeta ini biasa dimintai air pembersihan oleh masyarakat sekitarnya. Suatu hari, pendeta ini sedang berjalan-jalan. Seorang warga yang menderita kematian keluarganya, melihatnya di jalan. Warga ini serta merta memohon air suci pembersihan kepada pendeta ini untuk membersihkan roh keluarganya yang telah meninggal. Karena tidak ada mata air di tempat itu maka pendeta ini mengambil air sawah untuk warga ini. Air ini kemudian diberikan mantra sebagai pembersihan untuk roh orang yang meninggal. Air suci ini kemudian diberikan kepada warga tersebut. Warga ini tidak percaya bahwa air suci ini bisa meyucikan roh keluarganya karena diambil dari air sawah yang kotor. Karena itu, air ini kemudian dibuang. Air suci ini ternyata kemudian menjadi mata air yang jernih. Warga tersebut baru percaya bila air suci tersebut memang bertuah. Dia mengumumkan semua peristiwa tersebut kepada warga sekitarnya. Selanjutnya, tempat kemunculan mata air tersebut kemudian menjadi Pura Selukat, tempat warga memohon air suci untuk keluarganya yang telah meninggal. Sehingga pada setiap upacara pembersihan roh, seperti Ngaben dan Mamukur, masyarakat Bali biasanya memohon air suci di pura ini.
Pura Selukat Simbol Penyucian

Jnyanam tapo ”gniraharaumrin
manovaryupajanam vayuh
kamarkakalau ca sudheh
krtrini dehinam
Manawa Dharmasastra, V.105).

Maksudnya:
Yang merupakan sarana penyucian bagi makhluk hidup adalah ilmu pengetahuan, kesucian api, makanan suci, pertiwi, pengendalian pikiran, air bhasma, angin, upacara suci, matahari dan sang waktu.

Pengertian penyucian dalam hal ini adalah suci secara jasmani dan rohani. Suci secara rohani adalah proses untuk menghilangkan pengaruh klesa dalam diri manusia. Klesa artinya kotor. Klesa itu ada lima yaitu Awidya artinya kegelapan jiwa karena merasa pintar, kaya, muda, kuat, bangsawan, cantik atau ganteng. Asmita mementingkan diri sendiri, Raga mementingkan pengumbaran hawa nafsu, Dwesa adalah benci dan dendam, Abhiniwesa adalah rasa takut. Kalau lima klesa itu mendominasi hidup seseorang, maka hidup tersebutlah yang disebut hidup yang kotor.

Untuk membersihkan diri dari kekotoran karena kekuasaan lima klesa itu tidaklah mudah. Amat dibutuhkan suatu keyakinan bahwa melawan klesa itu adalah suatu perilaku yang direstui Tuhan. Untuk menguatkan mental dan moral membersihkan diri itu umat seyogianya memohon tuntunan Tuhan. Hal inilah nampaknya yang menjadi dasar pemikiran leluhur umat Hindu di Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar mendirikan Pura Selukat di tengah sawah di Subak Tuas.

Pura ini adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai pemberi anugerah pangelukatan dengan simbol Tirtha Pangelukatan. Karena dalam berbagai susastra Hindu penyucian tersebut dapat menggunakan berbagai sarana. Seperti pertiwi, agni, surya, upacara suci, dsb. Tetapi dalam Bhuwana Kosa penyucian yang paling utama dengan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci. Kalau Jnyana ini diterapkan dengan tepat untuk menguatkan cinta kasih kepada Tuhan (Dewa Abhimana), kepada kebenaran dan kewajiban suci (Dharma Abhimana) dan cinta pada tanah kelahiran dalam wujud pengabdian pada tanah air (Desa Abhimana).

Di Pura Selukat ada dua Arca Pandita. Arca ini nampaknya untuk mengingat akan fungsi pandita untuk menuntun umat dalam mendalami ajaran yang terdapat dalam pustaka suci. Sebagai penuntun umat dalam mendalami isi pustaka suci pandita disebut acarya. Sedangkan pandita yang ngaloka pala sraya menuntun dalam bidang upacara yadnya disebut Srotria. Dua fungsi pandita inilah yang nampaknya disimbolkan oleh Arca Pandita di Pura Selukat tersebut.

Dua fungsi pandita dalam menuntun masyarakat inilah yang terkait dengan kehidupan sosial religius. Kalau pandita tersebut sudah mencapai tingkat sanyasin, menurut ketentuan Agastia Parwa tidak dibenarkan lagi untuk berkecimpung dalam kehidupan masyarakat. Sanyasin artinya melepaskan diri dari kehidupan duniawi sama sekali. Yang menjadi perhatian hanyalah patilaring Atma tanupa guruken. Artinya hanya belajar terus untuk melepaskan Atma dari badan sarira-nya.

Pura Selukat adalah pura untuk menuntun masyarakat luas. Hal ini sebagai dasar mengapa hanya ada dua Arca Pandita di Pura Selukat tersebut. Di samping itu tuntunan pandita sebagai Adi Guru Loka adalah menuntun umat untuk mendapatkan tuntunan hidup duniawi dan rohani atau dalam kehidupan sekala dan niskala.

Fungsi utama Pura Selukat adalah sebagai media untuk memohon tirtha pangelukatan pada Tuhan untuk menyucikan kehidupannya di bumi ini. Tuhan sebagai dewanya tirtha pangelukatan adalah Ganesa. Fungsi Ganesa adalah sebagai Wighnaghna Dewa atau Wighneswara dan Winayaka Dewa. Tuhan dipuja sebagai Wighnaghna Dewa adalah untuk mendapatkan keyakinan dalam melawan halangan hidup yang berasal dari luar diri manusia.

Dengan memuja Batara Gana diyakini kehidupan di bumi ini akan terlindungi dari berbagai serangan dari luar diri manusia. Sedangkan tirtha pebersihan untuk melawan gangguan hidup yang berasal dari dalam diri. Tirtha pebersihan simbol kekuatan Dewa Siwa. Dalam mitologi Hindu Dewa Siwa adalah ayah dari Dewa Ganesha. Ini menggambarkan bahwa musuh yang berada dalam diri manusia itu jauh lebih kuat daripada musuh yang berada dari luar diri.

Dalam kekawin Nitisastra dinyatakan: Norana satru mengelwihaning hana geleng ri hati. Artinya, tidak ada musuh yang melebihi musuh yang ada dalam diri. Inilah logikanya mengapa dewa dari tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Hal itu sebagai tuntunan untuk memotivasi umat agar jangan menganggap remeh musuh yang berada dalam diri. Karena musuh dalam diri diyakini jauh lebih kuat daripada musuh dari luar diri karena itu Tuhan yang dipuja dalam menciptakan tirtha pebersihan adalah Batara Siwa.

Sementara tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Batara Gana di samping sebagai Wigheswara juga sebagai Dewa Winayaka. Dewa Winayaka itu adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai ”Dewa Kebijaksanaan”. Winayaka artinya bijaksana. Bijaksana itu suatu langkah yang dilakukan oleh indria yang sehat dikendalikan oleh kecerdasan pikiran dengan kendali kesadaran budhi. Dalam keadaan seperti itulah kesucian Atman dapat diwujudkan.

Tujuan manusia lahir ke dunia ini adalah menjadikan badan atau sarira ini sebagai alat untuk mencapai empat tujuan hidup. Hal ini dinyatakan dalam Brahma Purana 45.228. Dharma, Artha, Kama, Mokshanam sarira sadhanam. Artinya badan (sarira) ini hendaknya dijadikan alat untuk mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Untuk mendapatkan kondisi yang dapat mendorong manusia bijaksana diperlukan upaya penyucian diri.

Penyucian diri itu meliputi membangun kesehatan fisik yang menyentuh kesepuluh alat indria. Selanjutnya membangun kecerdasan pikiran dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas adalah makanan suci sebagai salah satu sarana penyucian diri untuk membangun kesehatan alat-alat indria. Sedangkan ilmu pengetahuan yang disebut Jnyana itu sebagai sarana untuk penyucian diri yang pertama.

Bhuwana Kosa menyatakan olmu pengetahuan itu sarana penyucian yang paling utama. Jadinya tirtha pangelukatan dari Pura Selukat itu memiliki makna yang multidimensi dalam membangun hidup yang suci sebagai dasar membangun masyarakat suci. * I Ketut Gobyah

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/4/9/bd1.htm

Melebur ”Mala”, Sucikan Diri di Pura Selukat
Ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa adalah yang paling dicari oleh umat manusia di jagat raya ini. Bahkan kedua hal tersebut di atas, kini sampai dicari oleh orang hingga rela mengeluarkan biaya besar untuk melakukan perjalanan tirtayatra ke negeri seberang. Namun, semua itu kembali kepada rasa, yang tak terlepas dari keyakinan dari seorang untuk melebur segala mala dan menyucikan diri untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam hidup.

Seperti halnya dengan Pura Selukat. Ketenangan dan kedamaian mengalir bagi umat Hindu yang datang ke pura tersebut untuk melukat segala mala dan menyucikan diri. Air kehidupan begitu mengalir secara alami dari dalam bumi ke permukaan. Mereka datang dengan ketulusan hati ke Pura Selukat, mencari ketenangan hati dan pikiran serta kedamaian jiwa.

Mereka datang mencakupkan tangan serta melukat di Pura Selukat untuk menyucikan diri dari segala mala. Tidak hanya terbatas pada kelas sosial, mereka yang datang melukat di Pura Selukat juga atas petunjuk untuk bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Seorang rohaniwan maupun pendeta juga tak luput untuk melukat di pura petirtaan yang ada di alur Sungai Pakerisan.

Tidak hanya untuk masyarakat umum, orang-orang yang belajar ilmu kebatinan, bahkan para pejabat daerah dan mantan pejabat negara kerap kali datang untuk melukat dan memohon anugerah kepada Ida Barata Selukat. ”Mereka yang datang ke Pura Selukat mempunyai tujuan masing-masing dengan cara sembahyang serta melukat,” ungkap Mangku Gede Masceti yang ngayah di Pura Selukat.

Meski bangunan pura tidak begitu luas, namun tak memperkecil makna dari kebesaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya sebagai Tri Murti. Pura Selukat berada di areal persawahan Subak Tuas, Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar. Luasnya kira-kira sekitar 8 are terbagi dalam Tri Mandala, yakni jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pada Utama Mandala (jeroan) terdapat bangunan Padmasana sebagai stana Hyang Widhi, Gedong Penyimpenan dan sepasang arca pendeta.

Di bagian jaba tengah (madya mandala) hanya terdapat sebuah Gedong yang di dalamnya terdapat pancuran yang merupakan saluran dari sumber mata air di Pura Selukat. Dalam Gedong Patirtaan tersebut adalah sumber air patirtaan terdiri atas tiga sumber, dari barat, utara dan timur. Sedangkan di bagian jaba sisi terdapat bangunan Pesandekan (peristirahatan) serta dua pancuran yang sumber airnya berasal dari dalam gedong untuk melukat warga yang datang ke Pura Selukat.

Kebiasaan warga setempat bahwa setiap ingin melukat di Pura Selukat tidak serta merta langsung begitu saja masuk ke jeroan. Meski telah dilengkapi dengan sesaji disertai dengan berbusana adat untuk sembahyang, perjalanan melukat diawali dengan terlebih dahulu membersihkan diri (mandi) di tepian Sungai Solas Sowan, yang berada di sebelah timur pura. Usai mandi baru dilakukan pangelukatan oleh pemangku dengan air yang berasal dari dalam gedong untuk selanjutnya dituntun masuk ke jeroan. Di tempat ini, dilakukan persembahyangan memohon untuk dihapuskan segala mala yang ada di dalam dirinya.

Kata ‘’selukat”, menurut salah satu tokoh Puri Keramas yang juga sebagai penulis I Gusti Agung Wiyat S. Ardhi, berasal dari kata ”Sulukat” — ”Su” berarti baik dan ”lukat” berarti penyucian — tempat menyucikan diri guna memperoleh kebaikan, kerahayuan. Pura Selukat ini diyakini mampu membersihkan diri seseorang secara niskala, sanggup menghilangkan segala penyakit. Mereka yang datang ke Pura Selukat adalah mereka yang sedang dirajam penyakit seperti bebai, pikiran yang kalut/kacau, dan sebagainya.

Mangku Gede Masceti menambahkan, keberadaan Pura Selukat sebagai tempat untuk melukat segala mala, khususnya penyakit tercantum dalam Usada Bebai. Mereka yang terkena penyakit ini menggunakan tirtha selukat beserta tirtha sudamala yang disertai dengan tirtha pendukung lainnya yang jumlahnya sebanyak 11 tirtha.

Warga yang datang untuk melukat di Pura Selukat dalam hal ini tidak ada sesaji khusus. Hanya, jika tujuannya sebatas menyucikan diri, memohon keselamatan, cukup membawa banten pejati. Namun, jika pernah sakit atau sedang dalam proses penyembuhan, selain membawa pejati juga ditambah sesaji yang disebut tebasan pelukatan.

Di samping untuk membersihkan diri dari segala mala, Pura Selukat juga menyimpan kekuatan lain. Pura Selukat yang kini banyak didatangi oleh warga dari luar Gianyar ini, juga mampu memberikan anugerah taksu pada keahlian seseorang. Kebanyakan taksu mengalir dari Pura Selukat merupakan taksu seniman. Namun hal tersebut tidak terlepas dari sebagaimana yang diinginkan oleh warga yang datang ke Pura Selukat.

Dalam cermatan Agung Wiyat S., keberadan Pura Selukat dalam hal ini seakan menjadi tempat persembahyangan wajib bagi para seniman yang tumbuh di daerah setempat. Keterikatan para penggiat seni dengan pura yang berlokasi di tepian Sungai Solas Sowan ini bukan semata-mata dikarenakan lokasi pura yang berada dalam satu desa. Para seniman yang ada sangat percaya Ida Batara yang berstana di Pura Selukat mampu memberikan anugerah taksu sehingga kesenian yang digeluti menjadi hidup, bertenaga dan berkarisma. Sehingga dari desa ini menetas puluhan penggelut seni teater Bali (Arja), seperti I Monjong yang namanya tentu kini masih dikenang penggemar Arja di Bali.

Ada juga yang tujuan lainnya. Mereka yang sebelum membangun kelompok kesenian, biasanya warga tangkil ke Pura Selukat, seakan meminta petunjuk. Setelah terbentuk, mereka kembali lagi ke pura untuk menyatakan permakluman serta kesungguhan hati. Setelah mendapatkan penganugerahan, para seniman ini biasanya juga ngadegang, melakukan pemujaan khusus ke hadapan Ida Batara Selukat di rumahnya masing-masing. Dari sana nantinya mereka akan memohon izin kepada Beliau sebelum akhirnya berangkat pentas.

Selain seniman di Keramas, banyak pula seniman di luar desa bahkan Gianyar yang datang untuk memohon taksu di Pura Selukat. Termasuk para pejabat daerah. Seperti halnya beberapa waktu lalu, salah satu kandidat calon bupati maupun gubernur mendatangi Pura Selukat memohon penyucian diri dan anugerah.

Keberadaan Pura Selukat dalam angka tahun sama sekali tidak diketahui. Dari berbagai sumber menyebutkan, adanya nama Pura Selukat ini selain terdapat dalam Usada Bebai, juga terdapat dalam Kesuma Dewa dan Pura Keramas. Dalam Kesuma Dewa di mana disebutkan dalam kaitannya Ida Batara Sakti Gunung Lebah Gunung Agung dalam hal mamijilkan tirtha terebesan danau disebutkan Tirtha Telaga Waja, Tirtha Selukat dan tirtha yang ada di tengah segara. ”Di sana hanya disinggung kalimat selukat sedikit,” katanya.

Namun dalam Purana Keramas disebutkan bahwa Pura Selukat dikenal dengan sebagai sumber air kehidupan. Pura ini diperkirakan ditemukan hampir bersamaan dengan Pura Masceti, oleh I Gusti Agung Maruti. Saat meninggalkan Cau Rangkan (Jimbaran), menuju arah timur laut yang diiringi 1.100 pasukan tiba di suatu tempat dan menemukan bebaturan, berlokasi di dalam hutan, dekat dengan pantai yang kini dinamakan Pura Masceti.

Setelah mengaturkan bakti kepada Ida Batara yang berstana di tempat suci tesebut, beliau yang mendapatkan petunjuk kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri hutan yang lebat ke arah barat laut. Dalam perjalanan, kawasan perbukitan di pinggir Sungai Pakerisan ditemukan sumber air. Air ini kemudian dipergunakan sebagai sarana membersihkan diri beserta dengan iringan pasukannya.

Usai masucian, beliau beserta dengan iringan pasukannya menyusuri tepian Sungai Pakerisan. Ternyata terdapat 10 sumber mata air lainnya ditemukan sebelum akhirnya I Gusti Agung Maruti sampai di sebuah desa yang kini disebut Desa Keramas.

Sejak ditemukannya sumber mata air tersebut, kini warga di desa tersebut banyak memanfaatkan sumber air Selukat untuk keperluan penyucian diri, mengheningkan pikiran. Lambat laun, keberadaan Pura Pancoran Selukat — sebut orang di sana — kini banyak didatangi oleh orang-orang dari Tabanan, Denpasar, Bangli dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Bali. Ketenaran pura semakin bertambah ketika dibuka Jalan IB Mantra. Mereka yang ingin tangkil dari luar daerah lebih gampang mencari air kehidupan untuk ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa, dan anugerah taksu dalam kehidupan. (dar)

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/4/9/bd2.htm