Babad Badung (versi 2)
 
Isi Singkat Babad Badung

Pertama dinyatakan bahwa isinya disadur dari Babad Badung yang terdahulu, Usana Dalem Gelgel, Babad Blahbatuh, Buleleng, Pararaton, Tabanan, juga keterangan-keterangan dari orang-orang yang dapat dipercaya. Selanjutnya pengarang meminta maaf atas segala kekurangannya. Pengarang juga memohon ijin dan restu dari Tuhan Yang Maha Esa, untuk menceriterakan Raja-raja Badung terdahulu. Sirarya Kenceng, atas perintah Gajah Mada setelah Bedahulu ditaklukkan oleh Majapahit tahun Çaka 1256 (sastining Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi, beliau penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa Pucangan atau Buwahan. Sirarya Kenceng berputra empat orang:
a. Sri Magadha Prabu (sulung) tidak berkenan menjadi raja.
b. Seorang putri diserahkan kepada Bandesa Pucangan, termasuk lima orang anak angkat.
c. Sri Magadha Natha: bertahta menjadi raja Tabanan.
d. Kyayi Ngurah Tegeh Kori (lahir dari lain ibu) menjadi raja Badung berkedudukan di sebelah kuburan umum, beliau membuat bendungan di Pegat.

Kyayi Ngurah Tegeh Kori berputra:
a. Kyayi Wayahan Tegeh.
b. Kyayi Made Tegeh,
c. Wanita, dikawini oleh Kyayi Asak Pakisan di desa Kapal, tetapi tidak memperoleh keturunan.
Sri Magadha Nata (raja Tabanan) berputra tujuh orang yang tertua bernama Sirarya Ngurah Agung Rangwang (sedangkan yang lain-lain tidak disebutkan). Kemudian Sri Magadha Natha bermukim di hutan Matengguh. Kedudukannya digantikan oleh Sirarya Ngurah Agung Rangwang dengan gelar Da Cokorda Rangwang. Setelah bermukim di Matengguh Sri Magadha Natha memperoleh seorang putra dari istri Ni Luh Bandesa, diberi nama Kyayi Ketut Bandesa atau Kyayi Ketut Pucangan, diajak oleh kakaknya di istana Buwahan. Arya Ketut Bandesa (=Pucangan), mempunyai ciri-ciri keluarbiasaan. Maka ia tidak diperhatikan lagi oleh Da Cokorda Rangwang dan saudara-saudaranya, karena takut kalau- kalau kalah wibawa. Arya Ketut Bandesa mengetahui, dan mengerti akan hal itu, maka ia pun menyusup ke desa-desa menghibur dirinya. Kemudian Arya Ketut Bandesa diuji kebolehannya, oleh Da Cokorda Rangwang dengan tugas memangkas pohon beringin yang dianggap angker. Hal itu dilaksanakan dengan baik dan sukses. Akhirnya diberi nama Arya Ketut Notor Wandira, dan hadiah sebilah keris bernama Ki Cekle. Arya Ketut Notor Waringin berputra dua orang. Tetapi tetap kurang mendapat perhatian dari Cokorda Rangwang. Maka ia pun mengembara untuk memperoleh wahyu. Di desa Tambyak ia dapat memungut seorang anak diberi nama Ki Tambyak langsung dibawa ke rumahnya dijadikan abdi. Suatu saat beryoga di Pura Danau Batur, diikuti oleh Ki Tambyak. Di sana ia memperoleh wahyu dari Bhatari Danu, agar segera menghadap Anglurah Tegeh Kori di Badung sebagai awal untuk memperoleh kewibawaan, Entah berapa lama berselang, Arya Ketut Notor Waringin pun pergi ke Badung bersama anak istri dan Ki Tambyak. Mereka diterima dengan baik oleh Pangeran Tegeh Kori. Dan Arya Ketut Pucangan (Notor Waringin) dipersaudarakan dengan kedua orang putranya, diganti namanya dengan Kyayi Nyoman Tegeh. Pangeran Tegeh Kori akhirnya lebih cinta dengan Kyayi Nyoman Tegeh dari pada anak-anak kandungnya sendiri yang selalu mengingkari nasehat dan perintah orang tuanya. Akhirnya segala urusan ke hadapan Dalem Gelgel juga diwakili oleh Kyayi Nyoman Tegeh, sehingga Dalem pun sangat cinta dan percaya kepadanya. Rakyatnya bertambah- tambah pula. Kyayi Nyoman Tegeh atas bantuan Ki Tambyak berhasil menguasai daerah Sumreta, Ki Tambyak diberi nama Ki Handagala karena ia sebagai andalan tuannya. Karena Pangeran Tegeh Kori sangat cinta dan percaya kepada Kyayi Nyoman Tegeh maka ia diangkat menjadi Raja Badung. Datang pula tiga orang saudaranya dari Pucangan Tabanan, Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping raja Badung. Sedangkan Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh (anak kandung Pangeran Tegeh Kori) semakin lama semakin surut wibawanya. Sedangkan kekuasaan Pangeran Tegeh Kori digantikan oleh raja Badung Kyayi Nyoman Tegeh (Arya Ketut Notor Wandira = Arya Ketut Bandesa = Arya Ketut Pucangan), Raja Badung Kyayi Nyoman Tegeh sempat pula membalas budi Ki Handagala dengan surat wasiat yang berisikan antara lain, tidak boleh dijatuhi hukuman mati hingga turun temurun. Kyayi Nyoman Tegeh (Raja Badung I) mempunyai dua orang putra, yang pria bernama Kyayi Gede Raka dengan nama lain Kyayi Ngurah Papak, adiknya wanita bernama Ratu Ayu Pamadekan yang menikah dengan Anglurah Agung Tabanan mempunyai keturunan. Juga Kyayi Nengah Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, dan Kyayi Ketut Lebah, masing-masing mempunyai keturunan yang kemudian berpindah-pindah. Setelah raja Badung Kyayi Nyoman Tegeh wafat, lalu digantikan oleh putranya Kyayi Ngurah Papak (Raja Badung II). Dengan Ki Handagala sebagai andalan raja. Setelah wafat, Kyayi Ngurah Papak (raja Badung II) digantikan oleh putranya yang sulung Kyayi Putu Tegeh (raja Badung III) didampingi oleh adiknya bernama Kyayi Bebed, dengan andalan, Ki Handagala. Pada saat bertahta, Kyayi Putu Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem Sukasada (?), bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar takut dan takluk. Dalem menghukum Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya kepada Kyayi Putu Tegeh (raja Badung III). Namun Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan antara Badung dengan Kuta. Kyayi Putu Tegeh gugur. Lalu Kyayi Bebed mengadakan serangan balasan, akhirnya Badung menang, Kyayi Bebed menduduki tahta kerajaan menggantikan kakaknya bergelar Sirarya Anglurah Bebed (raja Badung IV) dengan luas wilayah hingga ke Kuta. Sebagai peringatan atas gugurnya Kyayi Putu Tegeh di Sungai Dawa, maka Sirarya Anglurah Bebed berkaul berpantang mandi di Sungai Dawa hingga turun temurun. Raja Badung IV mempunyai tiga orang istri:
a. Sri Jambe Harum (ber-ibu Bandesa Pucangan) berputra Kyayi Anglurah Jambe Mrik, ahli menyumpit diberi nama julukan Sang Dewa Bagus Anulup. Beliau berhasil mematahkan sayap Burung Gagak yang selalu mengganggu santapan Dalem Dimade.
b. Stri Panataran dari Babandem , berputra Kyayi Anglurah Macan Gading, ahli bermain cemeti diberi nama julukan Sang Dewa Bagus Amecut. Diuji kecakapannya oleh Dalem Gelgel, hingga amat disayang.
c. Jro Kame, dari Tumbak Bayuh, berputra Kyayi Pangkung Tumbak Bayuh (anak tertua).

Para putri raja Badung di antaranya:
a. Stri Jambe, menjadi istri Dalem Dimade di Gelgel, berputra I Dewa Agung Ketut Jambe pendiri dan raja I kerajaan Klungkung.
b. Seorang putri ber-ibu dari Tabanan menikah dengan Kyayi Anglurah Agung Dimade, patih kerajaan Gelgel, berputra Ki Agung Anom Kapal, menurunkan raja I Mengwi.
c. Seorang putri yang ber-ibu Stri Panataran, menikah dengan Pangeran Pagedangan di Kesiman tanpa keturunan.

Kisah terjadi nama Tahen Siyat, yaitu peperangan antara Badung dengan Den Bukit, Kyayi Ngurah Panji Sakti menyerang Badung. Akhirnya terjadi perdamaian.
Pada masa pemerintahan Anglurah Bebed di Badung, di Gelgel terjadi perebutan kekuasaan dari Dalem Dimade oleh Kyayi Anglurah Agung Dimade dengan nana lain Kyayi Agung Maruti dan Gusti Made Janggaran dengan nama lain Kyayi Agung Badeng. Dalem Dimade mengungsi ke Guliang, hingga wafat di sana. Putra Dalem Dimade I Dewa Pemayun dan I Dewa Ketut Jambe berunding, tetapi hanya I Dewa Ketut Jambe saja hendak merebut kembali Keraton Gelgel, dibantu oleh Kyayi Ngurah Singarsa. Kyayi Ngurah Panji dan keturunan raja Badung. Pertempuran pun terjadi dari beberapa penjuru. Pasukan Badung mengepung dari arah selatan. Terjadi peperangan di Handoga, banyak korban berguguran prajurit Badung mundur dan tinggal pemimpinnya tidak mundur setapak pun. Kemudian pasukannya maju lagi setelah tuannya mereka lihat ada di depan. Disela oleh malam maka pertempuran berakhir. Tak terhitung bekas-bekas luka pada badan raja Badung, namun beliau kembali dengan selamat sejak itu diberi Gelar Sri Angrurah Jambe Pule. Sri Angrurah Jambe Pule berputra tiga orang:
a. Sirarya Angrurah Jambe Mrik beristana di sebelah Timur Sungai Badung, sebelah pasar bernama Rajya Lang Tegeh atau Puri Peken Badung bertahta sebagai raja Badung.
b. Sirarya Angrurah Macan Gading, beristana di sebelah Barat Sungai Badung, di desa Pamedilan, bernama Puri Pamecutan. Kemudian bergelar Angrurah Pamedilan atau Angrurah Pamecutan. Beliau orang kedua di kerajaan Badung.
c. Kyayi Tumbak Bayuh beristana di Gelogor bernama Puri Gelogor, bergelar Kyayi Angrurah Gelogor. Beliau sebagai patih dari kedua adiknya. Mempunyai keturunan para Gusti Gelogor dan Puri Oka di Denpasar.
Ketiga bersaudara itu amat rukun memimpin pemerintahan, sama- sama cakap dan bijaksana.
Tersebut bahwa raja Badung yang bernama Sirarya Ngurah Jambe Mrik telah disetujui oleh Kyayi Tegeh Kori untuk menikah dengan putrinya. Namun Kyayi Tegeh Kori tidak tetap pendirian, ia hendak menyerahkan putrinya itu kepada Kyayi Ngurah Agung Dimade (=Maruti) yang dulu pindah dari Gelgel ke Jimbaran, dan dari Jimbaran ke Kapal. Karena dendam hati raja Badung, maka Kyayi Tegeh Kori diserbu, segera terkalahkan, ia bersama putrinya mengungsi ke Mengwi. Putrinya diperistri oleh Kyayi Agung Maruti. Sanak keluarga Kyayi Tegeh Kori yang tinggal di rumahnya semua diturunkan derajat kebangsawanannya menjadi "Wangsa Dukuh". Maka seluruh wilayah Badung menjadi wilayah kekuasaan Raja Badung, Yakni Sirarya Ngurah Jambe Mrik, beliau berputra empat orang. Demikian tentang Badung di sebelah timur sungai. Tersebut bahwa Sirarya Macan Gading (Sri Angrurah Mecutan) di sebelah barat sungai Badung, amat setia kepada Dalem Smarawijaya (Klungkung). Beliau berputra empat orang, tiga orang pria, Sirarya Ngurah Pamecutan, Gusti Made Tegal Cempaka, dan Ki Gusti Telabah. Sirarya Macan Gading gugur dalam peperangan melawan Sirarya Agung Maruti, maka didirikan Pura Watuklotok dan Sirarya Macan Gading disebut "Bhatara Maring Klotok". Pada masa pemerintahan Sirarya Macan Gading Kyayi Beranjingan cucu Kyayi Nyoman Batan Ancak (Tabanan), dapat menaklukkan desa Intaran, maka ia berkuasa di Intaran Abyan Timbul.
Para putra Sirarya Jambe Mrik:
a. Sirarya Jambe Ketewel, menggantikan menjadi raja Badung.
b. Kyayi Gede Kuta Ubud (ber-ibu dari Kuta), terbentuklah Jro Kuta, banyak keturunan "Para Gusti Jro Kuta".
c. Kyayi Ngejung, tidak mempunyai keturunan.
d. Kyayi Pahang.
Sirarya Jambe Ketewel berputra delapan orang.
a. Sirarya Jambe Tangkeban menggantikan kedudukan raja Badung.
b. Dan lain-lainnya,
Sirarya Jambe Tangkeban menikah dengan putri Arya Ngurah Mecutan Sakti, tetapi tidak memperoleh keturunan, beliau ingin memohon "putra padana" dari Dalem, Smarapura maka dipersembahkan seorang istri yang cantik kepada Dalem kemudian memperoleh seorang anak pria bernama Sri Jambe Aji, nama lainnya Jambe Haeng. Selain putra padana itu beliau mempunyai putra dari lain ibu bernama Kyayi Panataran, Kyayi Kerangehan, Kyayi Munang, dan Kyayi Ketut Kebon, Sri Aji Jambe Tangkeban, setelah wafat diberi julukan Sang Mur Ring Pajejekan. Sri Jambe Aji menggantikan ayahnya menjadi raja Badung. Permaisurinya bernama Ratu Ayu Bun, putri Sirarya Ngurah Mecutan yang wafat di Ukiran. Beliau mendirikan istana disebut Puri Ksatria. Istana terdahulu ditinggalkan yang tinggal hanya puranya saja yang disebut Puru Suci. Beliau wafat dan meninggalkan para putra: Sri Aji Jambe Ksatria, Kyayi Agung Made Jambe, Kyayi Agung Anom Jambe menggantikan di Jro Kuta. Permaisurinya putri Arya Ngurah Mecutan Bija. Sri Aji Jambe Ksatria bertahta sebagai raja Badung, istri beliau putri Arya Ngurah Gede Mecutan Bija.
Badung sebelah barat sungai:
Para putra Arya Ngurah Mecutan Macan Gading (Bhatara Maring Klotok), di istana Pamecutan, berputra empat orang:
a. Nararya Ngurah Mecutan Sakti, menggantikan kedudukan ayahnya.
b. Kyayi Made Tegal Cempaka, beristana di Tegal mempunyai keturunan di Tegal.
c. Kyayi Ketut Telabah tidak memperoleh keturunan.
d. Seorang putri kawin ke geria Sanur berputra Ida Ngenjung.
Nararya Ngurah Mecutan Sakti banyak istri dan para putranya 42 orang. Di antara putranya yang utama Nararya Angrurah Bagus Anulup, Nararya Anglurah Pamecutan, beristana di Ukiran), Nararya Nglurah Mayun beristana di Kesiman di timur sungai, Kyayi Agung Gede Oka (Puri Kaleran Kawan), sedangkan para putra penawing semua telah memiliki rumah masing-masing sebanyak 32 orang. Keturunan Kyandanggala (Ki Handagala) dimukimkan ke Bukit karena kesalahan salah seorang keluarganya, sedangkan mereka tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Setelah Anglurah Mecutan Sakti wafat maka Nararya Anglurah Mecutan kembali dari Ukiran, karena Anglurah Bagus Anulup telah wafat lebih dahulu, maka Nararya Anglurah Mecutan bertahta di Puri Agung Mecutan menggantikan ayahnya bergelar Arya Ngurah Mecutan Ukiran. Beliau berputra utama Arya Ngurah Mecutan Bija (ber-ibu Tosing Pinatih Bun), dan yang wanita menikah dengan Sri Jambe Aji di Puri Ksatria:
Para putra panawing masing-masing telah mempunyai rumah dan seorang menetap di Ukiran.
Arya Mecutan Bija menggantikan Arya Mecutan Ukiran. Kyayi Gede Kapaon dipindahkan dari puri Ukiran ke Batan Kamoning, dan puri Ukiran dijadikan pasanggrahan Dalem Smarapura (Klungkung). Arya Mecutan Bija dianggap orang kedua dari raja Badung (Ksatria).
Arya Ngurah Mecutan Bija digantikan oleh putranya Arya Ngurah Gede Raka bergelar Arya Ngurah Gede Mecutan, sedangkan adiknya Kyayi Ngurah Rai di puri Kanginan atau puri Lanang. Pada masa pemerintahan Arya Ngurah Mecutan Bija, terjadi percekcokan antara Sri Aji Jambe Puri Ksatria dengan Puri Kaleran Kawan. Sedangkan Arya Ngurah Mecutan Bija tidak berada di salah satu pihak tetap di tengah-tengah. Ternyata Puri Ksatria dikalahkan. Sejak itu berdiri Puri Agung Denpasar dengan rajanya Arya Agung Made Ngurah Denpasar. Dan sejak itu pula di Badung ada dua raja, Mecutan dan Denpasar.
Arya Ngurah Made Pamecutan, putra Arya Ngurah Mecutan Bija menggantikan kedudukan ayahnya bergelar Arya Ngurah Gede Mecutan. Beliau berputra banyak jumlahnya.
Arya Ngurah Gede Mecutan setelah wafat diberi gelar Bhatara Mur Ing Gedong atau Kurbasana, digantikan oleh menantunya yang bernama Kyayi Ngurah Gede Oka dari Puri Kanginan bergelar Arya Agung Ngurah Mecutan. Beliau wafat di Madarda, diberi julukan Bhatara Mur Ing Madarda.
Arya Ngurah Mecutan, beristri dari Puri Kelodan Denpasar. Tahun Çaka 1814 atau tahun 1392 Masehi, Mengwi dikuasai oleh Badung. Tahun Çaka 1820 atau tahun 1906 Masehi Badung dikalahkan oleh Belanda, Arya Ngurah Mecutan gugur bersama ibu dan anak istrinya, terkenal dengan Bhatara Mur Ing Rana.
Puri Kanginan:
Pertama Kyayi Ngurah Rai putra Arya Ngurah Gede Mecutan Bija. Beliau berputra pria seorang bernama Kryan Agung Gede Lanang. Kryan Agung Gede Lanang berputra dua orang Kyayi Ngurah Gede Oka yang menggantikan di puri Mecutan Kyayi Ngurah Gede Lanang di Puri Mecutan sendiri dan selanjutnya turun temurun di Puri Mecutan Kanginan.
Puri Kaleran Kawan:
Pendiri Puri Kaleran Kawan ialah Kyayi Agung Gede Oka putra Arya Ngurah Mecutan Sakti ber-ibu Ratu Istri Bongan putri I Gusti Agung Dimade di Kapal Mengwi, beliau berputra empat orang:
a. Kyayi Agung Gede menggantikan kekuasaan ayahnya.
b, Kyayi Gede Tegal Ayu, tidak mempunyai keturunan.
c. Kyayi Ketut Kaler berdiam di Tahitih.
d. Seorang putri menikah dengan Kyayi Ngurah Kabakaba.
Pada masa pemerintahan Kyayi Agung Gede terjadi percekcokan antara Kyayi Agung Gede dengan Sri Aji Jambe Ksatria. Tetapi lama kelamaan atas usaha Kyayi Agung Rai Ksatria dapat dikalahkan. Salah seorang dari anak Kyayi Agung Made Jambe dibuang ke tanah Jawa kemudian terkenal gagah berani dalam peperangan bernama Surapati. Pada waktu itu daerah Batubulan diserahkan pada raja Gianyar (Anak Agung Manggis) yang membantu Puri Kaleran Kawan. Setelah itu Puri Kaleran Kawan membuat istana untuk para putranya, antara lain Kyayi Agung Made Ngurah di Puri Denpasar, Kyayi Agung Alit Pemecutan di Puri Kaleran Kangin, Kyayi Agung Ketut di Puri Tegal.

Puri Denpasar:
Kyayi Agung Made Ngurah, menggantikan kedudukan Sri Aji Jambe Ksatria, beliau bergelar Nararya Agung Made Ngurah Pamecutan. Raja Pamecutan dan Raja Denpasar bekerja sama yang baik, Kyayi Agung Made Ngurah banyak istri dan anak-anaknya, Salah seorang putranya diam di Kesiman sebelah barat yang pertama-tama bersahabat dengan Belanda. Putra yang menggantikan beliau bernama Nararya Agung Gede Ngurah Pamecutan. Nararya Agung Gede Ngurah Pamecutan wafat di Puri Ksatria digantikan oleh Kyayi Agung Gede Oka yang semula diam di Titih kembali ke Puri Denpasar. Kyayi Agung Gede Oka di Puri Denpasar. Beliau menundukkan desa Buduk. Beliau terkenal dengan sebutan Sang Mur Ing Gaduh. Putranya dua orang wanita masih kanak-kanak.
Puri Kelodan Denpasar:
Kyayi Agung Made Oka (Dewata Mur Ing Galungan) para putranya:
a. Kyayi Agung Gede Ngurah, menggantikan di Puri Denpasar,
b. Kyayi Agung Made Oka menggantikan ayahnya.
c. Kyayi Agung Gede Rai bermukim di Puri Anyar.
Kyayi Agung Gede Ngurah di Puri Denpasar: bergelar Nararya Gede Ngurah Pamecutan, memperistri kedua putri Kyayi Agung Gede Oka di Puri Denpasar. Juga banyak istri yang lain hingga para putranya banyak pula. Antara lain:
Nararya Agung Made Agung yang lahir tahun Çaka 1798, atau tahun 1876 Masehi. Pada masa pemerintahan Nararya Agung Gede Ngurah Pamecutan, dimulai lagi upacara pelebon menggunakan usungan tingkat sembilan berkat restu Dewa Agung putra raja Klungkung. Dan pada masa ini pula terjadi percekcokan Badung dan Mengwi. Baginda wafat tahun Çaka 1812 (tahun 1890 Masehi), dengan upacara pelebon tahun Çaka 1117 (tahun 1895 Masehi). Kemudian beliau terkenal dengan julukan Maharaja Dewata Cokorda Basmi. Digantikan oleh putranya Nararya Agung Alit Ngurah Pamecutan (Cokorde Gede atau Cokorda Raka) di Puri Denpasar.
Nararya Agung Ngurah Alit Pamecutan (puri Denpasar) didampingi oleh: Kyayi Arya Gede Jambe Puri Lalangon, Kyayi Agung Ngurah Kajanan Puri Balaluan, Kyayi Agung Anglurah Kesiman. Pada tahun Çaka 1813 (tahun 1831 Masehi), Mengwi dikalahkan dan menjadi daerah kekuasaan Badung. Baginda raja wafat tahun Çaka 1822/ tahun 1900 Masehi bergelar Cokorda Mantuk Ring Ksatria. Dewata Mur Ing Ksatria digantikan oleh adiknya bernama Kyayi Agung Made Agung bergelar Nararya Agung Made Ngurah Agung Mecutan (Cokorda Made), di Puri Denpasar. Seorang raja yang bijaksana cerdas dan sastrawan. Setelah lima tahun baginda bertahta sebuah perahu Cina berlabuh di pantai Sanur, dijarah oleh rakyat Badung. Hal itu dilaporkan pada raja Buleleng dan residen Bali Lombok, Raja Badung dipaksa agar membayar ganti rugi, namun beliau menolak. Belanda menyerang Badung, terjadi peperangan yang hebat. Raja Badung dengan sanak saudara dengan pengikut-pengikutnya semua tak kenal menyerah hingga akhirnya ditaklukkan oleh Belanda pada tahun Çaka 1828 (Asti Mata Bujaga Tunggal) = tahun 1906 Masehi.

 

Nama/ Judul Babad :
Babad Badung.
Nomor/ kode :
 
Koleksi :
Puri Gede Kerambitan.
Alamat :
Puri Gede Kerambitan, Tabanan.
Bahasa :
Jawa Kuna.
Huruf :
Bali.
Jumlah halaman :
52 lembar (1b s/d 52a),
Ditulis oleh :
 
Colophon/ Tahun :
 
Kalimat awal :
Pamahbah Iti Babad Para Katon Bandhana, nga.
Kalimat akhir :
Puput Sinurat dene Agung Raka Menak. Tang Hulandi 9 Februari 1941.