Canang Sari - Dharmawacana
Topik sebelumnya  Topik selanjutnya
Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
 
Tentang: PURA ATAU SANGGAH PAMERAJAN PAKAI ATAP?
 
8 Sep 2003

Rekan sedharma Yth.

Om Swastiastu,

Lontar yang mengatur tentang tata cara membangun tempat suci berbentuk Pura atau Sanggah Pamerajan adalah:

  1. Gong Besi

  2. Sanghyang aji swamandala

  3. Tutur Kuturan

  4. Sanghyang Anala.

Klik untuk lebih jelas
Pura Gua Giriputri

Di lontar-lontar itu tidak ada diatur tentang membuat atap bagi areal tempat suci. Sesuatu yang tidak diatur atau tegas-tegas dilarang, berarti boleh. Dalam kaitan ini, Pura atau Sanggah pamerajan boleh diberi atap. Di Bali, jarang ada Pura yang diberi atap dengan pertimbangan biaya yang tinggi karena areanya cukup luas, kemudian juga agar tidak menghilangkan segi keindahan. Bayangkanlah jika Paduraksa setinggi 15 meter, lalu atapnya harus berapa meter? Belum lagi Meru yang bisa mencapai ketinggian 20 meter. Bayangkan juga jika Besakih seluruhnya diberi atap bagaimana kira-kira keindahannya.

Namun demikian ada beberapa Pura tua dibangun abad ke-14 di Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang seluruh bangunannya diberi atap. Ketika saya tanyakan kepada penglingsir di sana, dijawab bahwa itu ada kaitannya dengan mithology Maya Denawa, yang tidak suka rakyat Bali menyembah Hyang Widhi, bahkan disuruh menyembah dirinya. Katanya Maya Denawa bisa terbang di angkasa mengamati jika ada orang Bali yang sembahyang langsung kena ganjaran. Maka untuk menghindarkan bahaya itu kemudian mereka memberi atap seluruh pura. Memang kelihatan dari udara seperti los pasar. Sekali lagi itu dongeng.

Menurut pendapat saya Pura itu diberi atap agar warga tidak terganggu di acara persembahyangan karena di daerah itu curah hujannya cukup lebat. Hal lain yang perlu diingat bahwa di zaman Mpu Kuturan abad ke-11 belum ada tehnik sipil membuat bangunan beratap dengan konstruksi beton dan baja. Jadi ketika itu sesuatu yang tidak mungkin membuat atap Pura tanpa tiang-tiang penyangga yang banyak yang mengganggu pandangan dan keleluasaan.

Banyak Pura di Bali ada di dalam goa, seperti Goa lawah (Klungkung), Goa Raja (Besakih), dan Goa Giri Putri (Nusa Penida). Ini menguatkan pendapat bahwa bila perlu Pura boleh di bawah "atap". Jika dikaji lebih dalam, Pura adalah niyasa, simbol, alat untuk berkonsentrasi memuja Hyang Widhi. Tentunya di kala kita bersembahyang, lebih-lebih ketika sedang bermeditasi, kita tidak ingin terganggu. Kalau diberi atap, tentu lebih nyaman apalagi diberi ventilasi dan air conditioning. Pertimbangannya hanya masalah tehnis, keindahan dekorasi dan biaya saja. Lihatlah pagoda-pagoda di Thailand patung-patung Budha berlapis emas berada dalam ruangan yang nyaman, luas dengan lantai marmer.

Saya sendiri merencanakan membangun Mrajan pemujaan seluas 50 M2 dengan konstruksi beratap seluruhnya, berlantai keramik. Di dalamnya ada Padmasana, Kemulan rong tiga, Taksu, Pangrurah, Piasan dan Bale Pameosan.

Om Santi, Santi, Santi, Om....

 
 
Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
Geria Tamansari Lingga Ashrama
Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja, Bali
Telpon: 0362-22113, 0362-27010. HP. 081-797-1986-4